Minggu, 13 Februari 2011

Bukan Salah Azkiya

^__^
Salah satu cerpen dari sekian kumpulan cerpenku yang berani aku kirimkan saat itu..
tak menyangka bisa menjadi cerpen pemenang di Barokah Expo, yang kuingat tahun 2008...

Matahari mundur perlahan ke peraduannya. Langit merona jingga. Burung-burung pun riang gembira mengiringi peristiwa senja kala itu.
Di dalam sebuah ruangan berwarna serba putih itu, seorang wanita tengah berjuang sungguh-sungguh, berjihad. Segenap kekuatan ia curahkan agar nyawa yang dikandungnya itu selamat. Ya, ibu ini sedang melahirkan anak pertama yang ditunggu-tunggunya. Kumandang azan maghrib bersahut-sahutan. Saat itulah, akhirnya sang ibu bernafas lega. Bayinya lahir dengan selamat. Alhamdulillah, ucapnya lirih. Bayinya kembar, laki-laki dan perempuan. Segala puji bagi Allah yang Maha Pemberi berbagai karunia.

“Sudah ya, Ki? Bude udah berkali-kali ceritain hal ini ke kamu. Tapi kamunya tetap aja sedih seperti itu,” bude mengusap-usap kepalaku yang berbalut jilbab biru. Aku gerakkan tanganku mengisyaratkan sebuah pertanyaan. Dengan isyarat, aku bertanya apakah ada lagi hal yang belum bude ceritakan. Untungnya, bude sudah mengerti setiap bahasa isyaratku. “Gak ada. Insyaallah gak ada yang bude lupakan sayang. Sudah, sekarang kamu tidur dulu. Besok kamu ulang tahun kan? Bude sama pakde mau ngajak kamu jalan-jalan,” ujar bude sambil membenahi selimutku. Setelah itu, ia pun beranjak kembali ke kamarnya.
Tidak terasa aku akan berusia 17 tahun. Kalau mendengar cerita bude, rasanya baru kemarin aku terlahir ke dunia ini. Aku paling suka meminta bude bercerita akan masa kecilku, tentang ibu dan ayahku, dan tentang saudara kembarku, Fariz. 15 tahun sudah aku hidup bersama bude dan pakde. Mengapa bisa begitu? Aku sendiri tidak mengerti. Apa karena aku cacat lalu orang tuaku meninggalkanku? Astagfirullah aladzim. Aku tidak boleh suudhzan.
Hari minggu yang kunanti tiba. Matahari mulai menampakkan dirinya kembali. Cerah. Aku sudah bangun dari jam tiga pagi. Shalat tahajud, bermuhasabah dan berdoa untuk usia yang semakin berkurang kini. Aku tidak sabar menunggu telepon dari ayah dan ibu. Walaupun mereka tinggal di London, mereka tak pernah lupa menelepon di hari ulang tahunku. Sebenarnya aku ingin berjumpa langsung dengan mereka. Mereka tak pernah menjengukku selama 15 tahun ini dengan alasan sibuk atau sakit Fariz kambuh.
***
Di negeri seberang sana, seorang ibu larut dalam kesedihannya. Ia teringat akan anak perempuannya bernama Azkiya yang ia tinggalkan selama 15 tahun. Dia ibuku. Ibu menangis, otaknya memutar memori saat ia memutuskan memilih Fariz daripada diriku. Ayah memaksa untuk menitipkanku ke bude dan lebih memilih mengasuh Fariz. Alasannya karena keluarga besar kami mempercayai mitos kalau anak kembar laki-laki dan perempuan tidak boleh hidup berdekatan, di sisi lain ayah juga malu karena aku terlahir cacat. Orang tuaku tahu kalau aku tidak bisa berbicara karena dalam usia 2 tahun, belum satu kata pun yang aku katakan.
“Yah, ibu kangen sekali sama Azkiya,” ibu menceritakan kegundahannya. Ayah menarik nafas panjang.
“Ayah juga Bu. Tapi apa Azkiya mau memaafkan kita dan mau kita ajak tinggal sama kita setelah kita mencampakkan dia 15 tahun ini? Ayah rasa dia tidak akan mau. Lagipula si Fariz masih butuh perhatian ekstra dari kita, Bu. Sakit gagal ginjal Fariz mengharuskan kita fokus sama dia,” papar ayah panjang lebar.
“Tapi kan si Fariz sudah besar. Dia bisa menjaga dirinya sendiri. Sedangkan Azkiya? Dia belum pernah sama sekali mendapat perhatian dari kita!” tangis ibu pecah.
“Sudahlah Bu. Azkiya tak pernah kekurangan kasih sayang. Pakde sama budenya sangat menyayanginya. Dia juga tumbuh jadi anak yang solehah sekarang”.
Tanpa sepengetahuan mereka, Fariz mendengar pembicaraan dari belakang. Ia merasa bersalah atas semua ini. Ia juga merasa kangen pada saudara kembarnya. Ia ingat untuk menelepon Azkiya, ini kan hari ulang tahun mereka.
Jauh di seberang aku sudah gelisah duduk di ruang tengah. Telepon belum juga berdering. Pakde dan bude hanya tersenyum melihat kegelisahanku. Namun, tak berapa lama kemudian, telepon pun berdering. Sontak wajahku gembira. Ya Allah, akhirnya mereka menelepon juga. Bude beringsut mengangkat gagang telepon, aku mendekat.
“Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam. Bude,ini Fariz”.
“Oh, nak Fariz. Apa kabarmu Nak?Orang tuamu gimana, sehat?”
“Alhamdulillah kami di sini semua sehat. Fariz mau bicara sama Azkiya, dia ada di situ bude?”
“Iya, ini Azkiya ada di dekat bude. Kamu ngomong saja, bude yang sampaikan ke Azkiya”. Aku pun berdiri dekat telepon. Sungguh aku bahagia sekali Fariz menelepon, saudara yang entah bagaimana rupanya sekarang. Rasa bahagia itu membuncah hingga aku terisak.
“Bude, tolong sampaikan ke Azkiya kalau Fariz kangen sekali sama dia. Selamat ulang tahun ya Ki. Sekarang kita udah gede, udah 17 tahun. Kakak yakin kamu sekarang udah jadi gadis yang cantik ”. Bude menterjemahkan apa yang dikatakan Fariz dengan gerakan mulut dan tangannya. Setelah aku paham, dadaku rasanya sesak hingga nafasku tersengal.
“Ki, kamu nangis ya?” rupanya Fariz menangkap tangisku. Aku menggerakkan tanganku. Bude mengerti maksudku.
“Azkiya juga kangen sama nak Fariz. Dia bilang dia ingin bertemu kalian semua,” bude menjelaskan pada Fariz. Setelah itu entah apa lagi yang bude bicarakan dengan Fariz. Aku sudah tidak konsen lagi mendengarkan karena masih sesegukan.
“Ki, ini ibumu yang mau bicara,” bude memanggilku. Ibu, aku sangat merindukannya. Rindu suaranya apalagi belaian sayangnya. Kakiku gemetar berdiri dekat bude.
“Azkiya...,ibu kangen nak,”suara ibu gemetar. Hatiku bagai runtuh saat itu. Entah karena aku tidak bisa menangkap suara ibu. Andai aku bisa mendengar lembut suaranya. Andai saat itu aku bisa bercerita tentang rinduku. Andai aku mampu mengatakan aku mencintainya dan menginginkannya kembali padaku. Tapi aku tak bisa apa-apa. Semua kata-kata itu tercekal di tenggorokan ini, tak bisa keluar. Bude dan pakde yang menyaksikan keadaanku ikut menangis haru.
“Nak, maafkan ibu. Jangan benci ibu nak. Ibu sampai saat ini tak pernah melupakan kamu. Ibu sayang sama Azkiya dari dulu sampai saat ini. Ibu janji akan segera menemui kamu nak. Kamu sekarang pasti cantik sekali. Kata bude sejak kamu berjilbab, kamu tambah cantik. Selamat ulang tahun anakku, doa ibu bersamamu,”ibu masih terisak. Bude dengan pelan menterjemahkan kata-kata ibu. Aku tulis kalimat di kertas, lalu bude membacakannya.
“Mbak, Azkiya sangat rindu padamu. Cepatlah kau pulang. Dia ingin melihat wajahmu, ayahnya, kakaknya”.
Lalu ayah yang menjawab.”Iya, bude sampaikan ke Azkiya, kami usahakan tahun ini kami akan pulang. Sudah ya Ki, kami mau ngantar Fariz ke dokter. Asalamualaikum”.
“Walaikumsalam,” bude menutup telepon. Bude bilang terakhir ayah yang bicara. Ayah, mengapa dia tidak berbicara padaku untuk sekedar mengatakan kangen atau selamat ulang tahun. Apa ayah belum bisa menerima keadaanku? Ya Allah, aku sangat menyayangi ayah, kuharap dia pun begitu.
Hari ini aku begitu semangat sekolah. Ulanganku hasilnya memuaskan. Memang benar janji Allah, siapa yang bersungguh-sungguh maka dia yang akan berhasil. Aku selalu menyempatkan belajar setelah shalat tahajud karena saat itu otak masih fresh. Aku memang selalu semangat sekolah. Ada teman-teman yang selalu menyayangiku. Walaupun tak sedikit pula yang mencemooh kalau aku ini seorang tunawicara. Sakit memang, tapi untuk apa aku selalu bersedih.
Setiba aku di rumah, bude menyambutku dengan wajah cemas. Ada apa ya? Aku mendekati bude, mengangkat tanganku menanyakan ada apa. Bude terlihat berat untuk menjawabnya.
“Nak, saudaramu Fariz masuk rumah sakit. Ginjalnya semakin mamburuk. Orang tuamu tadi menelepon, mereka sedang panik karena kondisi Fariz kritis”.
Astaghfirullahaladzim. Cobaan apa lagi ini ya Allah? Kasihan orang tuaku.
“Ki, keluargamu akan pulang ke Jakarta besok. Fariz yang meminta untuk pulang,” pakde memberitahuku. Apa? Aku tidak salah dengar? Mereka akan pulang dan itu artinya aku akan bertemu mereka. Tapi mengapa harus dengan keadaan Fariz sedang sakit? Ya Rabb, begitu banyak rencana-Mu yang begitu tiba-tiba ini.
Malam ini aku tidak bisa tidur. Aku disibukkan oleh perasaan yang bercampur aduk ini. Oh ayah, ibu, aku akan bertemu mereka, ingin mencium tangannya dan memeluknya. Hingga akhirnya aku pun terlelap dalam mimpiku.
***
Pagi ini aku bersama bude dan pakde ke RS Islam Jakarta karena Fariz langsung dibawa ke sana. Selama di perjalanan, aku hanya duduk diam. Tubuhku rasanya hangat dingin. Aku hampir tidak percaya kalau waktu yang aku tunggu-tunggu itu datang juga. Bude merasakan kecemasanku, dia menggengggam tanganku erat.
Aku dan bude berlari kecil menuju ruangan dimana Fariz dirawat. Aku masih sibuk menata hatiku. Ya Allah, mengapa bertemu dengan orang tua saja aku seperti ketakutan sekali. Tenangkan hatiku ya Rabb. Aku memandang lurus ke depan. Aku pun melihat sosok seorang wanita dan lelaki di sana. Setelah semakin dekat, aku tahu itu mereka! Ayah dan ibu.
Ibu berdiri melihat kedatanganku. Matanya sayu dan berkaca-kaca. Ia langsung mendekapku. Hangat sekali. Rasanya aku tidak mau pelukan ini lepas. Damai merasuk ke dalam hatiku. Kami pun mengungkapkan rasa haru lewat tangis yang pecah.
“Azkiya, kamu sudah besar nak. Ibu rindu padamu, rindu sekali nak,” ibu mencium kepalaku. Ya Allah, baru kali ini aku merasakannya. Bahagia sekali. Aku pun mencium tangannya lama, lalu tangan ayah. Kucium dengan khidmat. Kurasakan energi kasih sayang dari mereka yang tak pernah kurasakan selama ini.
Tak lama kemudian, dokter mengatakan kalau Fariz butuh donor ginjal untuk bertahan hidup. Ayah terlihat semakin cemas. Aku ambil selembar kertas dari agenda kecilku. Kutulis: ayah, jangan bersedih. Allah tidak akan memberi cobaan di luar kemampuan umat-Nya. Kita harus sabar dan ikhlas yah. Kuberikan itu pada ayah. Tiba-tiba raut muka ayah berubah.
“Kau pikir dengan sabar si Fariz bisa selamat? Fariz itu anakku yang paling aku harapkan. Cuma dia yang bisa meneruskan usaha bisnisku. Selama ini aku bersabar tapi tak ada perubahan pada Fariz!” suara ayah meninggi. Aku terkejut dengan sikap ayah. Tapi kucoba tersenyum, kutulis lagi: Azkiya selalu siap membantu ayah semampu Azkiya.
“Kamu? Kamu bisa apa? Bicara saja tidak bisa, mau bantu apa. Cuma bisa nyusahin!” ujar ayah ketus. Deg, hatiku bagai dihujam palu. Sakit sekali. Ibu terdiam tak berani berbicara, dia hanya menangis. Ternyata ayah begitu tak menginginkanku. Aku langsung berlari jauh mencari tempat menyendiri.
Aku merenung. Aku merasa tidak berarti lagi. Pertemuan yang menyakitkan. Ternyata kenyataan lebih menyakitkan bagiku. Aku ingin berteriak, tapi tak bisa. Aku benci pada diriku sendiri, mengapa aku tak bisa bicara? Mengapa ayah membenciku? Aku tak pernah meminta terlahir seperti ini.
***
Wajah ayah beberapa hari ini terlihat bahagia. Sudah seminggu Fariz dioperasi pencangkokan ginjal. Operasinya sukses. Pertama kali sadar, Fariz ingin bertemu denganku. Aku merasa bahagia sekali melihatnya sudah sadar. Setelah bertemu, kami mencurahkan rasa bahagia itu. Aku memeluk tubuhnya yang terbaring lemah. Fariz tak malu menangis sesegukan. Aku berisyarat kalau aku mencintainya. Fariz dengan mudah menangkapnya. “Aku juga mencintaimu, adikku,” ungkapnya. Ibu, bude, pakde menangis melihat kami. Ayah hanya melihat tanpa ekspresi haru.
“Ayah, jangan benci Azkiya lagi. Dia tidak salah. Fariz masih bisa hidup ini karena ginjal dari Azkiya. Dia yang mendonorkan satu ginjalnya untuk saudaranya ini,” Fariz menjelaskan. Aku hanya menggelengkan kepala agar Fariz jangan meneruskan kata-katanya. Ekspresi wajah ayah berubah seketika. Ia bagai tak percaya. Ibu mengangguk meyakinkannya.
“Ayah, Azkiya tidak berdosa. Apakah terlahir tak sempurna itu dosa? Mengapa kita menghukumnya seperti ini Yah? Cukup! Cukup sudah kita menghukumnya. Apa ayah tidak mencintai putri kandung ayah sendiri?” ibu terlihat emosi.
Tubuh ayah gemetar. Air matanya menetes perlahan. Aku pun tak kalah menangis deras. Kata-kata ibu cukup mewakili pertanyaanku. Ayah mendekatiku perlahan. Ia pun memelukku erat lalu mencium kepalaku. Hal yang belum pernah aku rasakan dari seorang ayah. Kubalas dengan meraih punggung tangannya, kucium dengan penuh khidmat. Suasana haru biru membekukan ruangan itu.
“Maafkan ayah nak. Ayah telah berdosa mencampakkanmu. Entah bagaimana ayah menebus kesalahan ayah,” ayah terus mencium kepalaku. Bahagia memenuhi segenap hatiku. Subhanallah….
Ibu ikut memelukku. Kami hanyut dalam perasaan yang selama 15 tahun ini tak terungkapkan. Bibirku bergetar, ingin sekali aku berucap, satu kata saja. Pelukan ibu kulepas perlahan, kutatap matanya. Ya Allah, kumohon, izinkan aku berbicara satu kata saja. Aku tidak meminta banyak, hanya satu kata yang selalu ingin kukatakan. Segenap tenaga aku kumpulkan. Aku tarik nafas dalam-dalam.
“I...bu..,” tiba-tiba kata itu terucap dari bibirku. Ibu dan semuanya terkejut dengan apa yang kukatakan. Aku pun hampir tak percaya. Air mataku tak terbendung lagi. Itu kata pertama yang kuucapkan. Walau tak begitu lancar, aku bahagia karena bisa mengucapkannya karena mungkin hanya saat saja itu dapat kuucapkan.
Ayah, walau lama tak bersama
Rasa bangga dan cinta untukmu tetap kujaga
Aku menyayangimu lebih dari nyawaku
Jangan kau tanya berapa lama aku sanggup menunggu ridhomu
Hingga akhir hayat tetap kutunggu
Ibu, walau tak selalu bisa kusebut namamu
Namamu tumbuh mewangi di hati
Kau bagai telaga di tengah kekeringanku
Jangan sampai air mata jatuh di sudut matamu ibu
Karena dukamu menyiksaku, bahagiamu itu citaku


By: RESTI
FKIP Biologi O7
06071009036
11 April 08

2 komentar:

  1. like this ^^
    tp kl bs huruf ny jngn ungu y adekku rada susah bc ny ^^

    BalasHapus
  2. wah...dibaca ya mb?
    ^^, oke mb, ntar diganti..
    syukron ya mb..

    BalasHapus

Minggu, 13 Februari 2011

Bukan Salah Azkiya

^__^
Salah satu cerpen dari sekian kumpulan cerpenku yang berani aku kirimkan saat itu..
tak menyangka bisa menjadi cerpen pemenang di Barokah Expo, yang kuingat tahun 2008...

Matahari mundur perlahan ke peraduannya. Langit merona jingga. Burung-burung pun riang gembira mengiringi peristiwa senja kala itu.
Di dalam sebuah ruangan berwarna serba putih itu, seorang wanita tengah berjuang sungguh-sungguh, berjihad. Segenap kekuatan ia curahkan agar nyawa yang dikandungnya itu selamat. Ya, ibu ini sedang melahirkan anak pertama yang ditunggu-tunggunya. Kumandang azan maghrib bersahut-sahutan. Saat itulah, akhirnya sang ibu bernafas lega. Bayinya lahir dengan selamat. Alhamdulillah, ucapnya lirih. Bayinya kembar, laki-laki dan perempuan. Segala puji bagi Allah yang Maha Pemberi berbagai karunia.

“Sudah ya, Ki? Bude udah berkali-kali ceritain hal ini ke kamu. Tapi kamunya tetap aja sedih seperti itu,” bude mengusap-usap kepalaku yang berbalut jilbab biru. Aku gerakkan tanganku mengisyaratkan sebuah pertanyaan. Dengan isyarat, aku bertanya apakah ada lagi hal yang belum bude ceritakan. Untungnya, bude sudah mengerti setiap bahasa isyaratku. “Gak ada. Insyaallah gak ada yang bude lupakan sayang. Sudah, sekarang kamu tidur dulu. Besok kamu ulang tahun kan? Bude sama pakde mau ngajak kamu jalan-jalan,” ujar bude sambil membenahi selimutku. Setelah itu, ia pun beranjak kembali ke kamarnya.
Tidak terasa aku akan berusia 17 tahun. Kalau mendengar cerita bude, rasanya baru kemarin aku terlahir ke dunia ini. Aku paling suka meminta bude bercerita akan masa kecilku, tentang ibu dan ayahku, dan tentang saudara kembarku, Fariz. 15 tahun sudah aku hidup bersama bude dan pakde. Mengapa bisa begitu? Aku sendiri tidak mengerti. Apa karena aku cacat lalu orang tuaku meninggalkanku? Astagfirullah aladzim. Aku tidak boleh suudhzan.
Hari minggu yang kunanti tiba. Matahari mulai menampakkan dirinya kembali. Cerah. Aku sudah bangun dari jam tiga pagi. Shalat tahajud, bermuhasabah dan berdoa untuk usia yang semakin berkurang kini. Aku tidak sabar menunggu telepon dari ayah dan ibu. Walaupun mereka tinggal di London, mereka tak pernah lupa menelepon di hari ulang tahunku. Sebenarnya aku ingin berjumpa langsung dengan mereka. Mereka tak pernah menjengukku selama 15 tahun ini dengan alasan sibuk atau sakit Fariz kambuh.
***
Di negeri seberang sana, seorang ibu larut dalam kesedihannya. Ia teringat akan anak perempuannya bernama Azkiya yang ia tinggalkan selama 15 tahun. Dia ibuku. Ibu menangis, otaknya memutar memori saat ia memutuskan memilih Fariz daripada diriku. Ayah memaksa untuk menitipkanku ke bude dan lebih memilih mengasuh Fariz. Alasannya karena keluarga besar kami mempercayai mitos kalau anak kembar laki-laki dan perempuan tidak boleh hidup berdekatan, di sisi lain ayah juga malu karena aku terlahir cacat. Orang tuaku tahu kalau aku tidak bisa berbicara karena dalam usia 2 tahun, belum satu kata pun yang aku katakan.
“Yah, ibu kangen sekali sama Azkiya,” ibu menceritakan kegundahannya. Ayah menarik nafas panjang.
“Ayah juga Bu. Tapi apa Azkiya mau memaafkan kita dan mau kita ajak tinggal sama kita setelah kita mencampakkan dia 15 tahun ini? Ayah rasa dia tidak akan mau. Lagipula si Fariz masih butuh perhatian ekstra dari kita, Bu. Sakit gagal ginjal Fariz mengharuskan kita fokus sama dia,” papar ayah panjang lebar.
“Tapi kan si Fariz sudah besar. Dia bisa menjaga dirinya sendiri. Sedangkan Azkiya? Dia belum pernah sama sekali mendapat perhatian dari kita!” tangis ibu pecah.
“Sudahlah Bu. Azkiya tak pernah kekurangan kasih sayang. Pakde sama budenya sangat menyayanginya. Dia juga tumbuh jadi anak yang solehah sekarang”.
Tanpa sepengetahuan mereka, Fariz mendengar pembicaraan dari belakang. Ia merasa bersalah atas semua ini. Ia juga merasa kangen pada saudara kembarnya. Ia ingat untuk menelepon Azkiya, ini kan hari ulang tahun mereka.
Jauh di seberang aku sudah gelisah duduk di ruang tengah. Telepon belum juga berdering. Pakde dan bude hanya tersenyum melihat kegelisahanku. Namun, tak berapa lama kemudian, telepon pun berdering. Sontak wajahku gembira. Ya Allah, akhirnya mereka menelepon juga. Bude beringsut mengangkat gagang telepon, aku mendekat.
“Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam. Bude,ini Fariz”.
“Oh, nak Fariz. Apa kabarmu Nak?Orang tuamu gimana, sehat?”
“Alhamdulillah kami di sini semua sehat. Fariz mau bicara sama Azkiya, dia ada di situ bude?”
“Iya, ini Azkiya ada di dekat bude. Kamu ngomong saja, bude yang sampaikan ke Azkiya”. Aku pun berdiri dekat telepon. Sungguh aku bahagia sekali Fariz menelepon, saudara yang entah bagaimana rupanya sekarang. Rasa bahagia itu membuncah hingga aku terisak.
“Bude, tolong sampaikan ke Azkiya kalau Fariz kangen sekali sama dia. Selamat ulang tahun ya Ki. Sekarang kita udah gede, udah 17 tahun. Kakak yakin kamu sekarang udah jadi gadis yang cantik ”. Bude menterjemahkan apa yang dikatakan Fariz dengan gerakan mulut dan tangannya. Setelah aku paham, dadaku rasanya sesak hingga nafasku tersengal.
“Ki, kamu nangis ya?” rupanya Fariz menangkap tangisku. Aku menggerakkan tanganku. Bude mengerti maksudku.
“Azkiya juga kangen sama nak Fariz. Dia bilang dia ingin bertemu kalian semua,” bude menjelaskan pada Fariz. Setelah itu entah apa lagi yang bude bicarakan dengan Fariz. Aku sudah tidak konsen lagi mendengarkan karena masih sesegukan.
“Ki, ini ibumu yang mau bicara,” bude memanggilku. Ibu, aku sangat merindukannya. Rindu suaranya apalagi belaian sayangnya. Kakiku gemetar berdiri dekat bude.
“Azkiya...,ibu kangen nak,”suara ibu gemetar. Hatiku bagai runtuh saat itu. Entah karena aku tidak bisa menangkap suara ibu. Andai aku bisa mendengar lembut suaranya. Andai saat itu aku bisa bercerita tentang rinduku. Andai aku mampu mengatakan aku mencintainya dan menginginkannya kembali padaku. Tapi aku tak bisa apa-apa. Semua kata-kata itu tercekal di tenggorokan ini, tak bisa keluar. Bude dan pakde yang menyaksikan keadaanku ikut menangis haru.
“Nak, maafkan ibu. Jangan benci ibu nak. Ibu sampai saat ini tak pernah melupakan kamu. Ibu sayang sama Azkiya dari dulu sampai saat ini. Ibu janji akan segera menemui kamu nak. Kamu sekarang pasti cantik sekali. Kata bude sejak kamu berjilbab, kamu tambah cantik. Selamat ulang tahun anakku, doa ibu bersamamu,”ibu masih terisak. Bude dengan pelan menterjemahkan kata-kata ibu. Aku tulis kalimat di kertas, lalu bude membacakannya.
“Mbak, Azkiya sangat rindu padamu. Cepatlah kau pulang. Dia ingin melihat wajahmu, ayahnya, kakaknya”.
Lalu ayah yang menjawab.”Iya, bude sampaikan ke Azkiya, kami usahakan tahun ini kami akan pulang. Sudah ya Ki, kami mau ngantar Fariz ke dokter. Asalamualaikum”.
“Walaikumsalam,” bude menutup telepon. Bude bilang terakhir ayah yang bicara. Ayah, mengapa dia tidak berbicara padaku untuk sekedar mengatakan kangen atau selamat ulang tahun. Apa ayah belum bisa menerima keadaanku? Ya Allah, aku sangat menyayangi ayah, kuharap dia pun begitu.
Hari ini aku begitu semangat sekolah. Ulanganku hasilnya memuaskan. Memang benar janji Allah, siapa yang bersungguh-sungguh maka dia yang akan berhasil. Aku selalu menyempatkan belajar setelah shalat tahajud karena saat itu otak masih fresh. Aku memang selalu semangat sekolah. Ada teman-teman yang selalu menyayangiku. Walaupun tak sedikit pula yang mencemooh kalau aku ini seorang tunawicara. Sakit memang, tapi untuk apa aku selalu bersedih.
Setiba aku di rumah, bude menyambutku dengan wajah cemas. Ada apa ya? Aku mendekati bude, mengangkat tanganku menanyakan ada apa. Bude terlihat berat untuk menjawabnya.
“Nak, saudaramu Fariz masuk rumah sakit. Ginjalnya semakin mamburuk. Orang tuamu tadi menelepon, mereka sedang panik karena kondisi Fariz kritis”.
Astaghfirullahaladzim. Cobaan apa lagi ini ya Allah? Kasihan orang tuaku.
“Ki, keluargamu akan pulang ke Jakarta besok. Fariz yang meminta untuk pulang,” pakde memberitahuku. Apa? Aku tidak salah dengar? Mereka akan pulang dan itu artinya aku akan bertemu mereka. Tapi mengapa harus dengan keadaan Fariz sedang sakit? Ya Rabb, begitu banyak rencana-Mu yang begitu tiba-tiba ini.
Malam ini aku tidak bisa tidur. Aku disibukkan oleh perasaan yang bercampur aduk ini. Oh ayah, ibu, aku akan bertemu mereka, ingin mencium tangannya dan memeluknya. Hingga akhirnya aku pun terlelap dalam mimpiku.
***
Pagi ini aku bersama bude dan pakde ke RS Islam Jakarta karena Fariz langsung dibawa ke sana. Selama di perjalanan, aku hanya duduk diam. Tubuhku rasanya hangat dingin. Aku hampir tidak percaya kalau waktu yang aku tunggu-tunggu itu datang juga. Bude merasakan kecemasanku, dia menggengggam tanganku erat.
Aku dan bude berlari kecil menuju ruangan dimana Fariz dirawat. Aku masih sibuk menata hatiku. Ya Allah, mengapa bertemu dengan orang tua saja aku seperti ketakutan sekali. Tenangkan hatiku ya Rabb. Aku memandang lurus ke depan. Aku pun melihat sosok seorang wanita dan lelaki di sana. Setelah semakin dekat, aku tahu itu mereka! Ayah dan ibu.
Ibu berdiri melihat kedatanganku. Matanya sayu dan berkaca-kaca. Ia langsung mendekapku. Hangat sekali. Rasanya aku tidak mau pelukan ini lepas. Damai merasuk ke dalam hatiku. Kami pun mengungkapkan rasa haru lewat tangis yang pecah.
“Azkiya, kamu sudah besar nak. Ibu rindu padamu, rindu sekali nak,” ibu mencium kepalaku. Ya Allah, baru kali ini aku merasakannya. Bahagia sekali. Aku pun mencium tangannya lama, lalu tangan ayah. Kucium dengan khidmat. Kurasakan energi kasih sayang dari mereka yang tak pernah kurasakan selama ini.
Tak lama kemudian, dokter mengatakan kalau Fariz butuh donor ginjal untuk bertahan hidup. Ayah terlihat semakin cemas. Aku ambil selembar kertas dari agenda kecilku. Kutulis: ayah, jangan bersedih. Allah tidak akan memberi cobaan di luar kemampuan umat-Nya. Kita harus sabar dan ikhlas yah. Kuberikan itu pada ayah. Tiba-tiba raut muka ayah berubah.
“Kau pikir dengan sabar si Fariz bisa selamat? Fariz itu anakku yang paling aku harapkan. Cuma dia yang bisa meneruskan usaha bisnisku. Selama ini aku bersabar tapi tak ada perubahan pada Fariz!” suara ayah meninggi. Aku terkejut dengan sikap ayah. Tapi kucoba tersenyum, kutulis lagi: Azkiya selalu siap membantu ayah semampu Azkiya.
“Kamu? Kamu bisa apa? Bicara saja tidak bisa, mau bantu apa. Cuma bisa nyusahin!” ujar ayah ketus. Deg, hatiku bagai dihujam palu. Sakit sekali. Ibu terdiam tak berani berbicara, dia hanya menangis. Ternyata ayah begitu tak menginginkanku. Aku langsung berlari jauh mencari tempat menyendiri.
Aku merenung. Aku merasa tidak berarti lagi. Pertemuan yang menyakitkan. Ternyata kenyataan lebih menyakitkan bagiku. Aku ingin berteriak, tapi tak bisa. Aku benci pada diriku sendiri, mengapa aku tak bisa bicara? Mengapa ayah membenciku? Aku tak pernah meminta terlahir seperti ini.
***
Wajah ayah beberapa hari ini terlihat bahagia. Sudah seminggu Fariz dioperasi pencangkokan ginjal. Operasinya sukses. Pertama kali sadar, Fariz ingin bertemu denganku. Aku merasa bahagia sekali melihatnya sudah sadar. Setelah bertemu, kami mencurahkan rasa bahagia itu. Aku memeluk tubuhnya yang terbaring lemah. Fariz tak malu menangis sesegukan. Aku berisyarat kalau aku mencintainya. Fariz dengan mudah menangkapnya. “Aku juga mencintaimu, adikku,” ungkapnya. Ibu, bude, pakde menangis melihat kami. Ayah hanya melihat tanpa ekspresi haru.
“Ayah, jangan benci Azkiya lagi. Dia tidak salah. Fariz masih bisa hidup ini karena ginjal dari Azkiya. Dia yang mendonorkan satu ginjalnya untuk saudaranya ini,” Fariz menjelaskan. Aku hanya menggelengkan kepala agar Fariz jangan meneruskan kata-katanya. Ekspresi wajah ayah berubah seketika. Ia bagai tak percaya. Ibu mengangguk meyakinkannya.
“Ayah, Azkiya tidak berdosa. Apakah terlahir tak sempurna itu dosa? Mengapa kita menghukumnya seperti ini Yah? Cukup! Cukup sudah kita menghukumnya. Apa ayah tidak mencintai putri kandung ayah sendiri?” ibu terlihat emosi.
Tubuh ayah gemetar. Air matanya menetes perlahan. Aku pun tak kalah menangis deras. Kata-kata ibu cukup mewakili pertanyaanku. Ayah mendekatiku perlahan. Ia pun memelukku erat lalu mencium kepalaku. Hal yang belum pernah aku rasakan dari seorang ayah. Kubalas dengan meraih punggung tangannya, kucium dengan penuh khidmat. Suasana haru biru membekukan ruangan itu.
“Maafkan ayah nak. Ayah telah berdosa mencampakkanmu. Entah bagaimana ayah menebus kesalahan ayah,” ayah terus mencium kepalaku. Bahagia memenuhi segenap hatiku. Subhanallah….
Ibu ikut memelukku. Kami hanyut dalam perasaan yang selama 15 tahun ini tak terungkapkan. Bibirku bergetar, ingin sekali aku berucap, satu kata saja. Pelukan ibu kulepas perlahan, kutatap matanya. Ya Allah, kumohon, izinkan aku berbicara satu kata saja. Aku tidak meminta banyak, hanya satu kata yang selalu ingin kukatakan. Segenap tenaga aku kumpulkan. Aku tarik nafas dalam-dalam.
“I...bu..,” tiba-tiba kata itu terucap dari bibirku. Ibu dan semuanya terkejut dengan apa yang kukatakan. Aku pun hampir tak percaya. Air mataku tak terbendung lagi. Itu kata pertama yang kuucapkan. Walau tak begitu lancar, aku bahagia karena bisa mengucapkannya karena mungkin hanya saat saja itu dapat kuucapkan.
Ayah, walau lama tak bersama
Rasa bangga dan cinta untukmu tetap kujaga
Aku menyayangimu lebih dari nyawaku
Jangan kau tanya berapa lama aku sanggup menunggu ridhomu
Hingga akhir hayat tetap kutunggu
Ibu, walau tak selalu bisa kusebut namamu
Namamu tumbuh mewangi di hati
Kau bagai telaga di tengah kekeringanku
Jangan sampai air mata jatuh di sudut matamu ibu
Karena dukamu menyiksaku, bahagiamu itu citaku


By: RESTI
FKIP Biologi O7
06071009036
11 April 08

2 komentar:

  1. like this ^^
    tp kl bs huruf ny jngn ungu y adekku rada susah bc ny ^^

    BalasHapus
  2. wah...dibaca ya mb?
    ^^, oke mb, ntar diganti..
    syukron ya mb..

    BalasHapus