Jumat, 17 Juni 2011

Tanpa Judul

Kamis, 16 Juni 2011

Siang ini aku pulang dengan langkah gontai. Entah bagaimana orang lain menilai jika melihat raut mukaku. Kacau.
Hujan gerimis setengah deras. Aku biarkan saja tetesan air hujan, sengaja pelan kaki berjalan, biar air hujan ini membasahi tubuh yang banyak dosa ini ya Rabb, biar ia membersihkan dosa-dosa, biar ia menyejukkan hati yang tiba-tiba menjadi gersang dan penuh pertanyaan. Iya, pertanyaan yang belum jua bisa dijawab. Entah jawaban itu ada atau tidak atau tetap selamanya akan menjadi sebuah pertanyaan.

Yang jelas, sekarang aku rasakan, aku iri. Iri pada mereka yang subhanallah bisa mempertahankan prinsipnya. Bisa memperjuangkan kemauannya. Yang tidak pernah aku dapatkan. Ah, hari ini aku banyak tertohok dan berkaca.

Memang semua kejadian begitu beruntun, yang jika aku urutkan maka ia menjadi sebuah pembelajaran.

Sedari malam tadi, sulit sekali untuk memejamkan mata. Padahal aku begitu lelah, ingin sekali menurutkan hak mata ini untuk rehat. Tapi hati ku tak bisa tenang. Pertanyaan itu selalu menggangguku. Hingga siang ini, aku dibenturkan pada sebuah kenyataan, yang sekali lagi membuatku iri, malu, sedih. Ah, apalah arti diriku dibandingkan mereka. Dan akhirnya pertanyaan itu semakin membuncah, aku sendiri tidak tahu, butuh jawaban atau tidak. Apakah akan lebih pahit jika aku tahu jawabannya?

Aku malu karena ada di luar sana, mereka yang luar biasa dengan ketawadhuannya, begitu terjaga keikhlasannya, tanpa embel-embel apapun. Ah, betapa aku iri sekaligus malu. Setiap kata-katanya, adakah itu jawaban atas pertanyaanku?

Bukan karena kecewa aku terdiam.
Tapi karena pertanyaan yang belum jua bisa aku dapat jawabannya.

Ya, aku adalah seperti itu. Dari awal aku katakan, aku tidak mau diandalkan. Karena memang tak pantas untuk diandalkan. Akan lebih nyaman ketika bergerak, akan lebih terjaga niat ini ketika jauh dari rasa punya hak dan wewenang.
Begitu indahnya ketika mereka bekerja karena keinginannya untuk disana. Sepenuh hati menyemai untuk menuai hasilnya kelak. Mereka dengan lantang mengatakan ‘apa lagi yang bisa aku kerjakan?’

Aku iri.
Akankah lebih baik ketika kerja tidak terlihat, biar Allah dan RasulNya yang tahu?
Bekerja karena hati yang menuntun bukan karena perintah ataupun hak dan wewenang tadi?
Aku yakin, pemahaman mereka baik, mungkin jauh lebih baik. Memang ada satu dan lain hal yang memang harus kita pertahankan untuk hak pribadi kita.

Tapi setidaknya hari ini ada yang membuat aku bersyukur karena aku tidak memperlakukan mereka seperti waktu itu aku diperlakukan. Karena tugasku adalah mendengarkan, bukan memaksa.
Yang aku sesali, mengapa aku tidak mendapatkan kesempatan untuk berbicara saat itu, yang ada hanya kata ‘harus’.

Sekali lagi, aku masih bertanya.
Mengapa aku ada disini? Kalau kau bilang karena Allah yang memilih, ah, itu jawaban klasik, karena kau tak punya jawaban bukan?
Aku bertanya bukan karena aku mengingkari keputusan atau ingin menjadi orang munafik. Setidaknya ada ruang-ruang kosong di hatiku yang aku takut terisi dengan jawaban yang salah ketika aku tak mendapatkan jawaban yang sebenarnya.

Entahlah, saat ini aku dibilang butuh apa? Terkadang katanya perempuan tak butuh solusi. Hanya butuh didengarkan dan penguatan. Kalau memang jawabannya kau tak punya jawaban, maka kuatkanlah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jumat, 17 Juni 2011

Tanpa Judul

Kamis, 16 Juni 2011

Siang ini aku pulang dengan langkah gontai. Entah bagaimana orang lain menilai jika melihat raut mukaku. Kacau.
Hujan gerimis setengah deras. Aku biarkan saja tetesan air hujan, sengaja pelan kaki berjalan, biar air hujan ini membasahi tubuh yang banyak dosa ini ya Rabb, biar ia membersihkan dosa-dosa, biar ia menyejukkan hati yang tiba-tiba menjadi gersang dan penuh pertanyaan. Iya, pertanyaan yang belum jua bisa dijawab. Entah jawaban itu ada atau tidak atau tetap selamanya akan menjadi sebuah pertanyaan.

Yang jelas, sekarang aku rasakan, aku iri. Iri pada mereka yang subhanallah bisa mempertahankan prinsipnya. Bisa memperjuangkan kemauannya. Yang tidak pernah aku dapatkan. Ah, hari ini aku banyak tertohok dan berkaca.

Memang semua kejadian begitu beruntun, yang jika aku urutkan maka ia menjadi sebuah pembelajaran.

Sedari malam tadi, sulit sekali untuk memejamkan mata. Padahal aku begitu lelah, ingin sekali menurutkan hak mata ini untuk rehat. Tapi hati ku tak bisa tenang. Pertanyaan itu selalu menggangguku. Hingga siang ini, aku dibenturkan pada sebuah kenyataan, yang sekali lagi membuatku iri, malu, sedih. Ah, apalah arti diriku dibandingkan mereka. Dan akhirnya pertanyaan itu semakin membuncah, aku sendiri tidak tahu, butuh jawaban atau tidak. Apakah akan lebih pahit jika aku tahu jawabannya?

Aku malu karena ada di luar sana, mereka yang luar biasa dengan ketawadhuannya, begitu terjaga keikhlasannya, tanpa embel-embel apapun. Ah, betapa aku iri sekaligus malu. Setiap kata-katanya, adakah itu jawaban atas pertanyaanku?

Bukan karena kecewa aku terdiam.
Tapi karena pertanyaan yang belum jua bisa aku dapat jawabannya.

Ya, aku adalah seperti itu. Dari awal aku katakan, aku tidak mau diandalkan. Karena memang tak pantas untuk diandalkan. Akan lebih nyaman ketika bergerak, akan lebih terjaga niat ini ketika jauh dari rasa punya hak dan wewenang.
Begitu indahnya ketika mereka bekerja karena keinginannya untuk disana. Sepenuh hati menyemai untuk menuai hasilnya kelak. Mereka dengan lantang mengatakan ‘apa lagi yang bisa aku kerjakan?’

Aku iri.
Akankah lebih baik ketika kerja tidak terlihat, biar Allah dan RasulNya yang tahu?
Bekerja karena hati yang menuntun bukan karena perintah ataupun hak dan wewenang tadi?
Aku yakin, pemahaman mereka baik, mungkin jauh lebih baik. Memang ada satu dan lain hal yang memang harus kita pertahankan untuk hak pribadi kita.

Tapi setidaknya hari ini ada yang membuat aku bersyukur karena aku tidak memperlakukan mereka seperti waktu itu aku diperlakukan. Karena tugasku adalah mendengarkan, bukan memaksa.
Yang aku sesali, mengapa aku tidak mendapatkan kesempatan untuk berbicara saat itu, yang ada hanya kata ‘harus’.

Sekali lagi, aku masih bertanya.
Mengapa aku ada disini? Kalau kau bilang karena Allah yang memilih, ah, itu jawaban klasik, karena kau tak punya jawaban bukan?
Aku bertanya bukan karena aku mengingkari keputusan atau ingin menjadi orang munafik. Setidaknya ada ruang-ruang kosong di hatiku yang aku takut terisi dengan jawaban yang salah ketika aku tak mendapatkan jawaban yang sebenarnya.

Entahlah, saat ini aku dibilang butuh apa? Terkadang katanya perempuan tak butuh solusi. Hanya butuh didengarkan dan penguatan. Kalau memang jawabannya kau tak punya jawaban, maka kuatkanlah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar