Selasa, 03 Juli 2012

immortal

Saat ini izinkan otak kanan dan kiriku menari-nari, walau aku sudah tahu pasti mereka tak pernah senada. Selalu saja pikiran ini meloncat-loncat tak beraturan. Begitulah, aku pun sungguh sadar bahwa aku tak mengerti mengapa aku begitu sulit dipahami (?) *halahh banget gue, huks.
Abadi. Atau keabadian. Kata itu tiba-tiba mengetuk pintu hatiku. Bukankah ia tak pernah menjadi bagian menyejarah di dunia ini? Karena dunia tak pernah bersahabat dengan keabadian. Ayeyyy!! Lebih tepatnya, tak berlebihan jika aku menyimpulkan abadi hanyalah sebuah pengejawantahan dari kehidupan setelah mati. Lalu bagaimana dengan edelweiss? Bukankah ia simbol keabadiaan. *berpikir keras
Ah, sebenarnya aku mau bicara apa. Kata-kata di otakku sekarang meloncat lebih tinggi.
Sebetulnya, aku sedang berpikir. Telingaku terus saja terngiang nasihat itu, motivasi itu. Sial banget kan? Padahal aku gak mau mikirin itu lagi. Lalu, apa hubungannya dengan abadi? Engggg,,aku juga tak yakin. Apakah aku ingin merasa bahagia sendiri begini atau mulai mempertimbangkan dengan serius nasihat itu. Karena tadi, aku yakinnya gak ada yang abadi, pun dengan mimpi-mimpiku sekarang. Aiyiy, aku labil bukan? Hoho, bukan seperti itu.

Aku masih terngiang kata-kata ‘itu’. Bukan karena siapa yang berkata, atau hanya gejolak yang berniat mulia. Tapi karena aku setuju dengan rasionalisasinya. Bukankah ‘itu’ merupakan bentuk penjagaan diri. Bukankah dengannya lengkap sudah dien yang kita percaya. Bukankah begini, bukankah begitu, bukankah akan seperti ini, bukankah akan seperti itu. Hadeh, maaf saya error ~.~
Lalu, ketika pertanyaan itu muncul: kok belum niat gitu?
Oh jelas bukan seperti itu. Tentu saja niat itu ada. Lalu ikhtiarnya saja yang belum 100%. Karena prinsipku begini, rezeki itu adalah rahasianya Allah. Rezeki itu kan memang harus diiringi ikhtiar untuk mendapatkannya. Nah, ikhtiar untuk rezeki ‘itu’ tentu berbeda-beda cara bagi setiap orang. Maka untuk itu, biarlah aku memilih menyibukkan diri dengan ilmu lalu memperbaiki diri sendiri. Biarlah rezeki itu yang akan menemuiku karena memang ia yang meminta tanganku yang menggenggamnya. Dengan begitu, aku akan yakin bisa menerima rezekiNya itu.
Okelah, aku terlalu banyak cen-cong. Intinya: tak ada yang abadi. Pun dengan apa yang aku pilih saat ini. Selama itu tetap dalam koridor yang benar, bisa saja besok aku mengubah pandangan. Bukankah ilmu pengetahuan pun bisa berkembang seiring zaman? *analoginya agak jauh ya?
- dalam renunganku tentang sebuah tanya. ini bukan masalah jawaban. hanya masalah waktu-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selasa, 03 Juli 2012

immortal

Saat ini izinkan otak kanan dan kiriku menari-nari, walau aku sudah tahu pasti mereka tak pernah senada. Selalu saja pikiran ini meloncat-loncat tak beraturan. Begitulah, aku pun sungguh sadar bahwa aku tak mengerti mengapa aku begitu sulit dipahami (?) *halahh banget gue, huks.
Abadi. Atau keabadian. Kata itu tiba-tiba mengetuk pintu hatiku. Bukankah ia tak pernah menjadi bagian menyejarah di dunia ini? Karena dunia tak pernah bersahabat dengan keabadian. Ayeyyy!! Lebih tepatnya, tak berlebihan jika aku menyimpulkan abadi hanyalah sebuah pengejawantahan dari kehidupan setelah mati. Lalu bagaimana dengan edelweiss? Bukankah ia simbol keabadiaan. *berpikir keras
Ah, sebenarnya aku mau bicara apa. Kata-kata di otakku sekarang meloncat lebih tinggi.
Sebetulnya, aku sedang berpikir. Telingaku terus saja terngiang nasihat itu, motivasi itu. Sial banget kan? Padahal aku gak mau mikirin itu lagi. Lalu, apa hubungannya dengan abadi? Engggg,,aku juga tak yakin. Apakah aku ingin merasa bahagia sendiri begini atau mulai mempertimbangkan dengan serius nasihat itu. Karena tadi, aku yakinnya gak ada yang abadi, pun dengan mimpi-mimpiku sekarang. Aiyiy, aku labil bukan? Hoho, bukan seperti itu.

Aku masih terngiang kata-kata ‘itu’. Bukan karena siapa yang berkata, atau hanya gejolak yang berniat mulia. Tapi karena aku setuju dengan rasionalisasinya. Bukankah ‘itu’ merupakan bentuk penjagaan diri. Bukankah dengannya lengkap sudah dien yang kita percaya. Bukankah begini, bukankah begitu, bukankah akan seperti ini, bukankah akan seperti itu. Hadeh, maaf saya error ~.~
Lalu, ketika pertanyaan itu muncul: kok belum niat gitu?
Oh jelas bukan seperti itu. Tentu saja niat itu ada. Lalu ikhtiarnya saja yang belum 100%. Karena prinsipku begini, rezeki itu adalah rahasianya Allah. Rezeki itu kan memang harus diiringi ikhtiar untuk mendapatkannya. Nah, ikhtiar untuk rezeki ‘itu’ tentu berbeda-beda cara bagi setiap orang. Maka untuk itu, biarlah aku memilih menyibukkan diri dengan ilmu lalu memperbaiki diri sendiri. Biarlah rezeki itu yang akan menemuiku karena memang ia yang meminta tanganku yang menggenggamnya. Dengan begitu, aku akan yakin bisa menerima rezekiNya itu.
Okelah, aku terlalu banyak cen-cong. Intinya: tak ada yang abadi. Pun dengan apa yang aku pilih saat ini. Selama itu tetap dalam koridor yang benar, bisa saja besok aku mengubah pandangan. Bukankah ilmu pengetahuan pun bisa berkembang seiring zaman? *analoginya agak jauh ya?
- dalam renunganku tentang sebuah tanya. ini bukan masalah jawaban. hanya masalah waktu-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar