Selasa, 22 Februari 2011

plegmatis, bukan?

Saya sedikit tertarik dengan mengenal tipe-tipe kepribadian yang saya kenal lewat buku, internet, psikolog (?). Mungkin karena tipikal mengamati saya yang menjadikannya menarik. Yup, saya suka mengamati. Jadi, hati-hati kalau dekat2 saya ~.~ *ngomong apa saya, saya anak manis kok,,beneran* Dari sekian macam tipe kepribadian yang saya ketahui, ini ciri-ciri yang yaaa mirip2 lah dengan saya, walau gak semua yg elo denger itu bener bro! Begini nih sumber yang saya dapat, maafkan saya lupa nama sumbernya:
Saya sang Plegmatis “Cinta Damai”.
Orang plegmatis adalah orang yang tak suka konflik, karena itu disuruh apa saja ia mau, sekalipun ia sendiri nggak suka. Baginya kedamaian adalah segala-galanya. Jika timbul masalah, ia akan berusaha mencari solusi yang damai tanpa timbul pertengkaran. Ia mau merugi sedikit atau rela sakit, asalkan masalahnya nggak terus berkepanjangan.
*izinkan saya berkomentar: saya memang tidak suka konflik dan saya rasa setiap orang seperti itu. Tapi, memang saya agak cepat bereaksi ketika berada di tengah konflik, yaitu kepala saya seperti mau pecah (pliss deh). Mendengar orang berdebat hebat sampai adu urat membuat saya frustasi (!). Disuruh apa aja mau? Owow, enak aja nih..Saya bukan pesuruh ya..Tapi selagi itu adalah untuk kebaikan umat dan semesta alam (lebay) saya akan rela melakukannya. Saya orang yang lebih memilih mengalah walaupun sebenarnya saya tidak salah, suatu sikap yang mau saya ubah nih, saya harus berani mengatakan kalau saya tidak salah, kamu donk yang harus berubah sikap! (kira-kira begitu).

Orang plegmatis kurang bersemangat, kurang teratur dan serba dingin. Cenderung diam, kalem, dan kalau memecahkan masalah umumnya sangat menyenangkan. Dengan sabar ia mau jadi pendengar yang baik, tapi kalau disuruh untuk mengambil keputusan ia akan terus menunda.
*komentar saya: kurang bersemangat? iyalah kali ya? mungkin cenderung terlihatnya seperti itu. Tapi kalau saya sudah memutuskan sesuatu, saya bisa menjadi semangat luar biasa dan tidak ada seorang pun yang bisa menghalangi saya,huwahaha. Kurang teratur? kalau makan gak teratur sih bener, teratur apa nih. Saya malah suka keteraturan. Teman saya mungkin ada yang gemas melihat saya yang cerewet ketika saya bilang 'ih,,kok gak rapi sih?', adik saya juga sering jadi sasaran omel2an saya masalah rapi tak rapi. ~sok banget ya~ Dingin? enggak deh, saya selalu menghangatkan seperti matahari,hoho. Diam,ok. Kalem, iya deh. Menunda-nunda keputusan? Ihh,,kok tau sih? Saya memang begono noh, rada sulit menimbang keputusan penting, sampai bisa frustasi tujuh hari tujuh malam (?) Tapi, sekali lagi, kalau sudah diputuskan, saya tidak akan menyesal dan setia sampai setengah mati sama keputusan saya ~keputusan apa sih?~ Kepribadian Phlegmatis "Damai" ( Introvert – Pengamat - Pesimis )
1. Emosi Phlegmatis Damai
Kepribadian rendah hati, Mudah bergaul dan santai, Diam, tenang, dan mampu,
Sabar, baik keseimbangannya, Hidup konsisten, Tenang tetapi cerdas, Simpatik
dan baik hati, Menyembunyikan emosi, Bahagia menerima kehidupan, Serba guna

2. Phlegmatis Damai di Pekerjaan
Cakap dan mantap, Damai dan mudah sepakat, Punya kemampuan administratif,
Menjadi penengah masalah, Menghindari konflik, Baik di bawah tekanan, Menemukan
cara yang mudah.

3. Phlegmatis Damai Sebagai Teman
Mudah diajak bergaul, Menyenangkan, Tidak suka menyinggung, Pendengar yang
baik, Selera humor yang menggigit, Suka mengawasi orang, Punya banyak teman,
Punya belas kasihan dan perhatian.

The last,,mungkin terdengar sok-sokan yah tulisan kali ini? Halloooo..Jangan mengernyitkan kening seperti itu, jelek tau. Saya cuma mengingatkan kita semua, terlebih saya pribadi, kalau setiap kepribadian itu tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Tidak ada satu tipe kepribadian yang cocok 100% sama kepribadian kita. Biasanya kita adalah gabungan, campuran, kombinasi atau blesteran dari tipe2 kepribadian itu. Saya juga tidak yakin saya 100% asli plegmatis karena terkadang saya bisa menjadi melankolis, yang ingin semua yang saya lakukan sempurna. Kadang juga saya bisa menjadi koleris, yang kuat, mampu memimpin, dan suka tantangan. Kadang lagi jadi sanguinis, ingin populer (hoho), ingin hidup yang berwarna warni, yang emosinya bergejolak jolak. Apapun itu, be your self aja lah! Itu yang saya suka. Saya tidak suka jika harus menjadi orang lain di luar diri saya sendiri. Maka saya berusaha untuk jujur dengan diri saya sendiri.

tak seperti bintang di langit, tak seperti indah pelangi
karena diriku bukanlah mereka, ku apa adanya
wajahku memang begini, sikapku jelas tak sempurna
kuakui ku bukanlah mereka, ku apa adanya
menjadi diriku..dengan segala kekurangan
menjadi diriku..dengan segala kelebihanku
terimalah aku seperti apa adanya
aku hanya insan biasa, aku tak sempurna
tetap kubangga dengan apa yang kupunya
setiap waktu kunikmati, anugerah hidup yang kumiliki
(a song from Edcoustic)

Rabu, 16 Februari 2011

You are what you think

Bismillahirrahmanirrahim...

Sore ini terbesit keinginan untuk menuliskan sesuatu tentang sepotong kalimat, 'kita adalah apa yang kita pikirkan'.

Saya kembali teringat akan sebuah tausiyah dari salah seorang adikku ^^ (jazakillah ya dek), yang menceritakan kisah sebuah arloji.
Alkisah, suatu hari, si arloji ditanya oleh tuannya.
"Hei arloji, bisakah kamu berdetak 1000 kali dalam satu menit?"
si arloji menjawab dengan nada terkejut," Apa? Bagaimana mungkin aku bisa berputar sebanyak itu dalam waktu satu menit?"
"Kalau begitu bisakah kamu berdetak 100 kali dalam satu menit?"
si arloji berpikir keras lalu menjawab," Rasanya masih terlalu sulit untukku"
"Baiklah, kalau begitu bisakah kamu berdetak 60 kali dalam satu detik?
arloji kembali menimbang-nimbang," Oh, kalau begitu aku sanggup"
Jadilah, tugas arloji hanya berdetak 60 kali dalam satu menit..

Dari kisah di atas, simpel sekali hikmahnya. Seberat atau seringan apapun beban yang diberikan pada kita adalah tergantung bagaimana cara kita memandangnya. Ketika kita melihat suatu masalah itu berat, maka yang dirasakan ya benar-benar berat dan sebaliknya.

Hmm, berbicara masalah persepsi dan cara memandang, saya sering juga memperhatikan bagaimana orang-orang hebat memandang setiap keadaan yang ada di sekitarnya..
Bagaimana mereka dapat menjadikan pelajaran setiap apa yang dilihat. Mungkin ini bisa jadi sesuatu yang kita renungkan.

Ya contohnya saja, kita sering mendengar kabar kematian, tapi jarang sekali dijadikan nasihat.
Sering kita melihat orang-orang yang hidup serba kekurangan, tapi jarang sekali kita jadikan nasihat. Kita lebih sering menggerutui, kenapa aku tidak punya seperti dia? Atau duh, cuma bisa makan nasi tempe hari ini nih (hufh), tapi tak pernah bersyukur, ternyata ada lho yang menahan perutnya yang lapar karena tak mampu membeli barang sebuah kerupuk pun...

Kembali ke 'kita adalah apa yang kita pikirkan',
saya bukanlah orang yang paling baik menata pikiran saya kawan.
Tapi, bukankah tidak salah jika kita berusaha untuk memperbaiki diri dan mengajak orang lain agar lebih baik dari hari ini..
Poin penting dari tulisan saya ini seperti ini, berpikirlah dengan cara yang berbeda ketika kita merasa buntu menghadapi sebuah permasalahan.
Ya, saya sedang mencoba seperti itu.
Menganggap sebuah hal yang mungkin bagi orang lain aneh, tapi saya bangga karena tak banyak orang aneh di dunia ini..
Contohnya saja kawan, di kampus. Saya sering senyum sendiri ketika saya menyadari betapa anehnya saya.
Teman-teman satu kelas dengan saya di semester 8 ini betapa tiap hari sibuk dengan proposalnya..sibuk dengan bimbingan, perbaikan proposal, dsb..
Lah, tapi kok saya masih sibuk dengan sks syuting..(^^v)
bukan hanya saya, ada satu orang teman setia saya juga di kelas (he..nyai)
Teman-teman sering mengernyitkan keningnya, ketika bertanya, "Res, mau kemana?"
aku hanya senyum, "ada syuro"
mereka hanya bilang, "ohh, padahal kami mau ngajak ke perpus"

Sungguh jadi orang aneh ya? Mereka tentu aneh, kok bisa-bisanya saya dengan santai di saat-saat yang menyibukkan bagi mereka..
^__^
Teman, saya juga punya keinginan besar seperti kalian untuk urusan kuliah ini. Dan tentu saja aku bukan tidak bergeming dengan kewajiban akademikku. Tapi aku sedang menyiapkan langkahku, untuk mundur selangkah dan maju dua-tiga langkah, bahkan berlari..

*utk saudari2ku seperjuangan (terutama nyai), jangan ragu dengan apa yang kita pilih. Allah tak pernah ingkar janji. Ketika kita menolong agama Allah, maka yakinlah Allah pun menolong kita. Urusan apapun, serumit apapun, akan mudah jika Allah ridho atas diri kita. Tetap semangat dan saling menguatkan.
Kita sama seperti mereka ukhti..Semangat dengan syuting sambil bimbingan, bersyukurlah karena masih bisa memikirkan konsepan" sambil menyusun proposal..
Semangat!!!
Kita buktikan kita bisa menyelesaikan keduanya dengan baik, tanpa ada yang terzolimi..Amin..

Selasa, 15 Februari 2011

proposal usulku

PROPOSAL USUL PENELITIAN
MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
 

Judul                           : Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Lewat Modifikasi Model TGT (Team Game Tournament) Tahap Kelompok, Game dan Turnamen Pada Pembelajaran Biologi Siswa SMA Negeri 11 Palembang.
Nama                           : Resti
NIM                            : 06071009036
 

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
            Pendidikan merupakan perwujudan dari salah satu tujuan pembangunan nasional Indonesia, yaitu ingin mencerdaskan kehidupan bangsa. Saat ini bidang pendidikan merupakan salah satu bidang pambangunan yang dapat parhatian serius dari pemerintah. Dengan memahami tujuan pendidikan maka tercermin bahwa pendidikan merupakan faktor yang sangat strategis sebagai dasar pembangunan bangsa.
             Isu-isu strategis pendidikan atau permasalahan pembelajaran di Indonesia terus bergulir dan belum terpecahkan meskipun berbagai solusi terus dilakukan. Isu-isu strategis tersebut dapat digambarkan dari hasil penenlitian berikut. Penelitian pertama yaitu hasil survey The Political and Economi Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong disimpulkan bahwa mutu sistem pendidikan Indonesia berada di urutan ke 12 di Asia, posisi ini didasarkan pada mutu tenaga kerja yang diukur berdasarkan hasil sistem pendidikan. Selanjutnya, penelitian Suyanto dan Hisyam (2007:7) menyatakan, dalam skala mikro proses pembelajaran di hampir semua jenjang pendidikan hanya memusatkan perhatiannya pada kemampuan otak kiri peserta didik. Sebaliknya, kemampuan otak kanan karena ditumbuhkembangkan. Kondisi tersebut menyebabkan pendidikan nasional tidak mampu menghasilkan orang-orang yang mandiri, kreatif dan mampu berkomunikasi secara baik dengan lingkungan fisik dan sosial.
            Pendidikan biologi merupakan bagian dari pendidikan sains dan sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah yang diharapkan dapat mencapai tujuan pendidiakn nasional yang ada. Biologi merupakan wahana untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, keterampilan sikap serta bertanggung jawab kepada lingkungan. Biologi berkaitan dengan cara mencari tahu dan memahami alam dan mahluk hidup secara sistematis sehingga pembelajaran biologi bukan hanya penguasaan kumpulan-kumpulan fakta tetapi juga proses penemuan.
Namun pada kenyataan yang ada dalam pendidikan biologi belum adanya peningkatan mutu pendidikan. Masalah-masalah pembelajaran sain atau biologi diantaranya adalah: pengajaran sain sang hanya mencurahkan pengetahuan (tidak berdasarkan praktek).
            Sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam belajar biologi. Kondisi seperti ini menyebabkan siswa kebanyakan diam (pasif), kurang aktif dalam bertanya maupun dalam menjawab pertanyaan dalam proses belajar mengajar. Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan menerapkan metode pembalajaran yang dapat mengaktifkan siswa dalam proses belajar mengajar. Keterlibatan secara aktif tersebut mencakup keterlibatan fisik maupun intelektual emosional (Dimyati dan Mujiono, 2006)
Tetapi dalam kenyataanya selama ini guru masih belum maksimal dalam melakukan pengolaan pembelajaran dengan baik, hal ini dapat dilihat banyak guru hanya mengajar dengan menyampaikan materi kepada siswa saja, sehingga proses belajar mengajar hanya didominasi oleh guru sehinnga siswa bertindak pasif dalam belajar. Kesulitan yang dialami siswa tidak lain kurangnya konsep dan guru belum sempurna dalam menerapkan pengolaan kegiatan pembelajaran.
Untuk itu diperlukan suatu pengolaan pembelajaran melalui penerapan dengan model yang sesuai yang dapat mengaktifkan siswa dalam belajar. Guru harus biasa memilih model yang tepat dan sesuai dengan materi pembelajaran untuk diterapkan.
Telah banyak penelitian pendidikan yang meneliti upaya meningkatkan hasil belajar siswa dengan model kooperatif learning yaitu tipe TGT karena model ini sangat mudah diterapkan. Oleh sebab itu, penulis tertarik menggunakan model TGT namun dimodifikasi dalam bentuk pelaksanaannya. Modifikasi tersebut didapatkan dari pengalaman penulis sendiri yang mendapatkan model baru dalam belajar oleh dosen yang disebut model Star Wars.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Lewat Modifikasi Model TGT (Team Game Tournament) Pada Pembelajaran Biologi Siswa SMA Negeri 11 Palembang.

Sesekali Bercermin Itu Perlu

Sebuah tulisan, bukan untuk menggurui atau men-judge, tapi hanya tulisan, nasihat hati, terlebih untuk diri pribadi.....

Untuk kita yang mungkin larut dalam dakwah, terkadang terasa penat memikirkan umat (walau hanya perasaan pribadi kita saja), untuk kita yang jenuh dgn aktivitas yang monoton (terasa tak membuahkan hasil), dan untuk kita yang merasakan kekeringan ukhuwah (yang katanya indah itu)....


Saudaraku,,pernahkah kita merenung mengapa semua itu bisa terjadi? Seringkali kita mengeluh ketika merasa kerja sendiri, kita bersedih ketika melihat satu per satu saudara kita mundur teratur (tapi tanpa ada usaha untuk mengetahui alasannya,hanya menebak-nebak), kita kecewa ketika merasa kerja tak dihargai, kita ngambek ketika merasa tak diperhatikan, atau kita merasa tinggal sendiri dan menjadi tumbal dari kemalasan-kemalasan saudara kita? Astaghfirullah aladzim....

Sekali lagi, ini hanya sebuah nasihat jiwa, terlebih untuk diri pribadi....

Semua amalan akan menjadi sia-sia belaka tanpa keikhlasan, terlebih lagi dakwah, sebuah aktivitas yang begitu mulia, karena denganya seorang hamba mengenal penciptanya Allah SWT untuk kemudian menyembahNya dengan tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun, akan hilang nilainya.
Ada beberapa tanda dan contoh dari generasi para sahabat atas keikhlasan mereka yang perlu menjadi perhatian para dai sehingga dapat mengontrol sejauh mana keikhlasannya dalam berdakwah. Diantara tanda tersebut ialah: Perhatian yang mendalam terhadap diri sendiri atas perasaan kurang dalam menjalankan hak-hak dan kewajibanya kepada Allah, dalam beribadah dan berdakwah. Bahkan kemarahan terhadap dirinya sendiri atas kekurangan itu, juga tidak melihat terhadap dirinya bahwa ia memiliki keutamaan secuil pun. Bukan justru merasa telah banyak berbuat untuk dakwah dan telah paling banyak ibadahnya. Allah berfirman: "Orang-orang yang memberikan apa yang telah dikaruniakan kepada mereka sedang hati mereka khawatir, sedang kepada tuhan merekalah mereka kembali." (Al-Mu'minun : 60)

Berikut beberapa sikap para salafus sholih dalam keikhlasan mereka beramal:

Abu Bakar Ash-Shiddiq ra memegang lidahnya lalu berkata: "Inilah yang akan membawaku kepada kehancuran."

Umar bin Khattab berkata kepada Huzaifah: "Apakah aku termasuk dari golongan mereka -yaitu orang-orang munafik- atau aku sebagaimana yang disebutkan oleh Rosulullah?"

Imam Syafi'I berkata: "Aku mencintai orang-orang sholeh namun aku bukan dari golongan mereka, semoga aku mendapatkan syafaat bersama mereka."

Muhammad bin Wasi' berkata: "Kalau sekiranya dosa itu mempunyai bau, kalian tentu tak sudi berdekatan denganku, karena baunya tubuhku oleh dosa."

Muhammad bin Aslam At-Thusi berkata: "Aku telah berjalan di bumi dan mengelilinginya, tidaklah aku melihat orang yang sholat menghadap qiblat yang lebih buruk sholatnya dari diriku sendiri."

Hasan Al-Basri rahimahullah mencela dirinya sendiri sambil berkata: "Engkau berkata dengan ucapan orang-orang yang sholeh, ahli ibadah dan taat, sedangkan engkau melakukan perbuatan orang-orang yang fasik dan riya' , Demi Allah.. Ini bukanlah sifat orang-orang yang ikhlas."

Yunus bin Abid berkata: "Aku telah menghitung seratus macam bentuk amal kebaikan, namun tak ada satupun yang ada di dalam diriku."

Fudhoil bin Iyadh berkata kepada dirinya sendiri: "Bagaimana engkau melihat orang yang banyak dosanya ini, sedikit sekali amalnya, sudah hampir senja usianya, namun belum bersiap untuk tempat kembalinya, belum mengisi dirinya untuk hari kematiannya, selalu menghiasi dunianya. "
Lalu ia duduk sambil kembali mencela dirinya: "Orang-orang berkumpul disekelilingmu menulis setiap ucapanmu, ohh.. engkau telah banyak bicara.. Celakalah dirimu, engkau telah banyak bicara. Malulah wahai orang bodoh, apakah engkau tidak tahu siapa dirimu sesungguhnya? Kalau sekiranya orang-orang itu tahu siapa dirimu niscaya mereka tidak akan duduk di sekelilingmu, tidak akan mendengar ucapanmu dan tidak akan mencatatnya darimu."

Begitulah di antara keistimewaan yang mereka miliki, semoga memberi motivasi para dai untuk meningkatkan keikhlasan dalam mengabdi kepada Allah.
Ya Rabb, jagalah selalu keikhlasan kami. Sungguh tiada yang patut dibanggakan, seberapa banyak pun kita merasa berbuat namun sesungguhnya itu sangat secuil. Mereka yang tidak terlihat, sedikit berbuat,tapi tulus ikhlas adalah jauh lebih beruntung daripada mereka yang merasa memikul semuanya sendiri namun sesungguhnya banyak kekhawatiran dan prasangka di belakangnya.

Adalah lebih baik ketika kita mengukur diri sendiri. Melihat kondisi orang lain bukan dari posisi kita, coba duduk di tempatnya, di dekatnya. Lalu bertanya, Mengapa hanya ada aku? Mengapa aku disini? Mengapa saudara2ku menjauh? Mungkin pribadi saudara kita sedang ada masalah, atau malah kita yang menjadi sebab masalah? Bisa jadi. Pernahkah kita berpikir orang lain jengah dengan sikap kita, membiarkan orang lain bertanya-tanya dengan tatapan kurang ramah kita. Kecil memang, tapi bisa memberi kesan negatif terhadap ukhuwah yang katanya indah bagi para aktivis dakwah.

Sekali lagi, ini hanya nasihat jiwa, terlebih untuk diri pribadi...
Saudaraku, semoga Allah menjadikan kita pribadi-pribadi yang selalu bersyukur, yang tak pernah merasa telah melakukan semua namun selalu merasa belum melakukan apa-apa dan perlu orang lain membangun impian dakwah kita. Sehingga ada perasaan ingin merangkul saudara di sampingmu, dengan sabar mendengarkan saudaramu (walau kau tahu saudaramu hanya membicarakan alasan).
Karena Hati hanya dapat disentuh dengan hati.

Wallahualam bishawab.
Sesungguhnya masih terlalu banyak kekurangan dari pribadi ini. Yang menulis tidak jauh lebih baik dari apa yang dituliskan. Semoga bermanfaat.
Afwan minkum.

Untukmu, Rasulku...

Semoga keselamatan dan keberkahan selalu tercurah padamu Rasul..
Mengapa saya memilih judul ini?
Karena saya teringat akan sepenggal kisah Rasulullah kurang lebih ceritanya sebagai berikut..

Suatu hari Rasulullah saw, seorang pemimpin yang luar biasa kuat, menangis sesegukan selesai melaksanakan solat.
Para sahabat pun bingung melihatnya. Ada apa gerangan sang Rasul menangis, padahal tak ada sebab ataupun hal yang patut membuat beliau sedih menurut para sahabat waktu itu..
Rasul terus menangis, seperti sedih sekali. Para sahabat yang tak tahan melihat air mata sang rasul pun akhirnya bertanya,
" Ya Rasul, mengapa engkau bersedih? apa gerangan yang membuatmu sedih?"
Dengan tercekat Rasul pun menjawab, "Aku sedang rindu pada saudara-saudaraku"
Para sahabat pun bingung mendengar jawaban rasul, lantas bertanya kembali, " Bukankah kami ini saudaramu?"
Rasul menggelengkan kepalanya, " Bukan, kalian bukan saudaraku, kalian adalah sahabatku. Saudaraku adalah mereka, umatku yang tak pernah berjumpa denganku, namun mereka tetap mencintaiku, tetap menjalankan sunnahku.."

Subhanallah....
Siapakah mereka yang dianggap sang rasul sebagai saudaranya? Mereka adalah kita wahai saudaraku..
kita yang tak pernah berjumpa dengan Rasullullah, terpisah jarak dan waktu yang sangat jauh.....
Insayaallah, semoga kita orang yang diaksud oleh rasul, yang tetap mencintainya, tetap istiqomah, tak pernah ragu akan sunnahnya.
lalu jika rasulullah saja sempat memikirkan kita hingga menangis karena rindu pada kita,lantas pertanyaannya, sudahkah kita menangis karena rindu yang menggebu pada Rasulullah? Jika sudah, kapan terakhir kali kita menangis mengingat rasul atau belum pernah sama sekali?

penggalan kisah yang kedua, yang seringkali membuat saya tertunduk haru, sedih, lagi malu..
kisah di detik-detik terakhir sakaratul maut sang rasul.
Saat itu, rasulullah terbaring lemah dengan keringat dingin yang mengucur deras di sekujur tubuhnya..
Ia menahan sakit yang luar biasa saat itu. Hingga malaikat pun tak sanggup menatap kesakitan hamba yang paling dicntai Allah itu..
Para sahabat yang melihat kondisi Rasul saat itu pun sedih sekali, sedih melihat orang yang mereka cintai tengah meregang nyawanya..
Rasulullah yang melihat malaikat Jibril yang saat itu membuang muka pun bertanya, "Ya Jibril, mengapa engkau tak mau melihatku? Apa begitu menjijikkan melihatku saat ini?"
Jibril pun menjawab," Tidak ya Rasul, sungguh bukan seperti itu. Aku tidak tahan melihat kekasih Allah merasakan sakt seperti itu."
Benar saja, Rasulullah merasakan sakitnya sakaratul maut saat itu, padahal malaikat sang pencabut nyawa melakukan tugasnya dengan luar biasa lembut. Izrail mencabut nyawa sang Rasul dengan sangat sangat lembut, tapi dengan cara terlembut pun sakaratul maut itu tetap saja menyakitkan.
Bayangkan saja sobat, sakaratul maut itu bagaikan tersayat 700 pedang, Allahu Robbi...
Di tengah kesakitannya, rasul berkata," Alangkah sakitnya sakaratul maut ini ya Allah..Limpahkan seluruh rasa sakit sakaratul maut padaku saja, tapi jangan pada umatku.."
Allahuakbar!! Itu kata-kata yang keluar dari mulut sang Rasul. Bukan meminta agar sakaratul mautnya dimudahkan, bukan itu...
"Rasulullah, katakan apa permintaanmu yang terakhir, maka akan aku kabulkan," ujar Jibril saat itu.
Tanpa berpikir lama, Rasul yang mulia berkata," Ummmati..ummati..ummati...(umatku, umatku, umatku)"
Kata inilah yang menjadi kata penutup dari sang rasul..
Allahumma solli ala sayyidina muhammad wa ala ali sayyidina muhammad..

Betapa besar rasa cinta Rasulullah pada kita, umatnya. Hingga di akhir nafasnya pun hanya kita umatnya yang beliau pikirkan..bukan hartanya, bukan anak istrinya,,bukan..
Lalu pertanyaannya, sudahkah kita membalas cinta sang Rasul? sudahkah kita mengingat beliau di setiap solat kita?
Wallahualam bi showab...

Semoga kita semua termasuk umat yang mendapat syafaat Rasulullah kelak di hari setiap orang meminta pertolongannya...
Ya Allah..izikan aku bertemu dengan Rasul-Mu, aku ingin melihat wajahnya, sebentar saja, sebentar..Ingin aku katakan, aku sungguh mencintaimu wahai rasulku..

Minggu, 13 Februari 2011

Bukan Salah Azkiya

^__^
Salah satu cerpen dari sekian kumpulan cerpenku yang berani aku kirimkan saat itu..
tak menyangka bisa menjadi cerpen pemenang di Barokah Expo, yang kuingat tahun 2008...

Matahari mundur perlahan ke peraduannya. Langit merona jingga. Burung-burung pun riang gembira mengiringi peristiwa senja kala itu.
Di dalam sebuah ruangan berwarna serba putih itu, seorang wanita tengah berjuang sungguh-sungguh, berjihad. Segenap kekuatan ia curahkan agar nyawa yang dikandungnya itu selamat. Ya, ibu ini sedang melahirkan anak pertama yang ditunggu-tunggunya. Kumandang azan maghrib bersahut-sahutan. Saat itulah, akhirnya sang ibu bernafas lega. Bayinya lahir dengan selamat. Alhamdulillah, ucapnya lirih. Bayinya kembar, laki-laki dan perempuan. Segala puji bagi Allah yang Maha Pemberi berbagai karunia.

“Sudah ya, Ki? Bude udah berkali-kali ceritain hal ini ke kamu. Tapi kamunya tetap aja sedih seperti itu,” bude mengusap-usap kepalaku yang berbalut jilbab biru. Aku gerakkan tanganku mengisyaratkan sebuah pertanyaan. Dengan isyarat, aku bertanya apakah ada lagi hal yang belum bude ceritakan. Untungnya, bude sudah mengerti setiap bahasa isyaratku. “Gak ada. Insyaallah gak ada yang bude lupakan sayang. Sudah, sekarang kamu tidur dulu. Besok kamu ulang tahun kan? Bude sama pakde mau ngajak kamu jalan-jalan,” ujar bude sambil membenahi selimutku. Setelah itu, ia pun beranjak kembali ke kamarnya.
Tidak terasa aku akan berusia 17 tahun. Kalau mendengar cerita bude, rasanya baru kemarin aku terlahir ke dunia ini. Aku paling suka meminta bude bercerita akan masa kecilku, tentang ibu dan ayahku, dan tentang saudara kembarku, Fariz. 15 tahun sudah aku hidup bersama bude dan pakde. Mengapa bisa begitu? Aku sendiri tidak mengerti. Apa karena aku cacat lalu orang tuaku meninggalkanku? Astagfirullah aladzim. Aku tidak boleh suudhzan.
Hari minggu yang kunanti tiba. Matahari mulai menampakkan dirinya kembali. Cerah. Aku sudah bangun dari jam tiga pagi. Shalat tahajud, bermuhasabah dan berdoa untuk usia yang semakin berkurang kini. Aku tidak sabar menunggu telepon dari ayah dan ibu. Walaupun mereka tinggal di London, mereka tak pernah lupa menelepon di hari ulang tahunku. Sebenarnya aku ingin berjumpa langsung dengan mereka. Mereka tak pernah menjengukku selama 15 tahun ini dengan alasan sibuk atau sakit Fariz kambuh.
***
Di negeri seberang sana, seorang ibu larut dalam kesedihannya. Ia teringat akan anak perempuannya bernama Azkiya yang ia tinggalkan selama 15 tahun. Dia ibuku. Ibu menangis, otaknya memutar memori saat ia memutuskan memilih Fariz daripada diriku. Ayah memaksa untuk menitipkanku ke bude dan lebih memilih mengasuh Fariz. Alasannya karena keluarga besar kami mempercayai mitos kalau anak kembar laki-laki dan perempuan tidak boleh hidup berdekatan, di sisi lain ayah juga malu karena aku terlahir cacat. Orang tuaku tahu kalau aku tidak bisa berbicara karena dalam usia 2 tahun, belum satu kata pun yang aku katakan.
“Yah, ibu kangen sekali sama Azkiya,” ibu menceritakan kegundahannya. Ayah menarik nafas panjang.
“Ayah juga Bu. Tapi apa Azkiya mau memaafkan kita dan mau kita ajak tinggal sama kita setelah kita mencampakkan dia 15 tahun ini? Ayah rasa dia tidak akan mau. Lagipula si Fariz masih butuh perhatian ekstra dari kita, Bu. Sakit gagal ginjal Fariz mengharuskan kita fokus sama dia,” papar ayah panjang lebar.
“Tapi kan si Fariz sudah besar. Dia bisa menjaga dirinya sendiri. Sedangkan Azkiya? Dia belum pernah sama sekali mendapat perhatian dari kita!” tangis ibu pecah.
“Sudahlah Bu. Azkiya tak pernah kekurangan kasih sayang. Pakde sama budenya sangat menyayanginya. Dia juga tumbuh jadi anak yang solehah sekarang”.
Tanpa sepengetahuan mereka, Fariz mendengar pembicaraan dari belakang. Ia merasa bersalah atas semua ini. Ia juga merasa kangen pada saudara kembarnya. Ia ingat untuk menelepon Azkiya, ini kan hari ulang tahun mereka.
Jauh di seberang aku sudah gelisah duduk di ruang tengah. Telepon belum juga berdering. Pakde dan bude hanya tersenyum melihat kegelisahanku. Namun, tak berapa lama kemudian, telepon pun berdering. Sontak wajahku gembira. Ya Allah, akhirnya mereka menelepon juga. Bude beringsut mengangkat gagang telepon, aku mendekat.
“Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam. Bude,ini Fariz”.
“Oh, nak Fariz. Apa kabarmu Nak?Orang tuamu gimana, sehat?”
“Alhamdulillah kami di sini semua sehat. Fariz mau bicara sama Azkiya, dia ada di situ bude?”
“Iya, ini Azkiya ada di dekat bude. Kamu ngomong saja, bude yang sampaikan ke Azkiya”. Aku pun berdiri dekat telepon. Sungguh aku bahagia sekali Fariz menelepon, saudara yang entah bagaimana rupanya sekarang. Rasa bahagia itu membuncah hingga aku terisak.
“Bude, tolong sampaikan ke Azkiya kalau Fariz kangen sekali sama dia. Selamat ulang tahun ya Ki. Sekarang kita udah gede, udah 17 tahun. Kakak yakin kamu sekarang udah jadi gadis yang cantik ”. Bude menterjemahkan apa yang dikatakan Fariz dengan gerakan mulut dan tangannya. Setelah aku paham, dadaku rasanya sesak hingga nafasku tersengal.
“Ki, kamu nangis ya?” rupanya Fariz menangkap tangisku. Aku menggerakkan tanganku. Bude mengerti maksudku.
“Azkiya juga kangen sama nak Fariz. Dia bilang dia ingin bertemu kalian semua,” bude menjelaskan pada Fariz. Setelah itu entah apa lagi yang bude bicarakan dengan Fariz. Aku sudah tidak konsen lagi mendengarkan karena masih sesegukan.
“Ki, ini ibumu yang mau bicara,” bude memanggilku. Ibu, aku sangat merindukannya. Rindu suaranya apalagi belaian sayangnya. Kakiku gemetar berdiri dekat bude.
“Azkiya...,ibu kangen nak,”suara ibu gemetar. Hatiku bagai runtuh saat itu. Entah karena aku tidak bisa menangkap suara ibu. Andai aku bisa mendengar lembut suaranya. Andai saat itu aku bisa bercerita tentang rinduku. Andai aku mampu mengatakan aku mencintainya dan menginginkannya kembali padaku. Tapi aku tak bisa apa-apa. Semua kata-kata itu tercekal di tenggorokan ini, tak bisa keluar. Bude dan pakde yang menyaksikan keadaanku ikut menangis haru.
“Nak, maafkan ibu. Jangan benci ibu nak. Ibu sampai saat ini tak pernah melupakan kamu. Ibu sayang sama Azkiya dari dulu sampai saat ini. Ibu janji akan segera menemui kamu nak. Kamu sekarang pasti cantik sekali. Kata bude sejak kamu berjilbab, kamu tambah cantik. Selamat ulang tahun anakku, doa ibu bersamamu,”ibu masih terisak. Bude dengan pelan menterjemahkan kata-kata ibu. Aku tulis kalimat di kertas, lalu bude membacakannya.
“Mbak, Azkiya sangat rindu padamu. Cepatlah kau pulang. Dia ingin melihat wajahmu, ayahnya, kakaknya”.
Lalu ayah yang menjawab.”Iya, bude sampaikan ke Azkiya, kami usahakan tahun ini kami akan pulang. Sudah ya Ki, kami mau ngantar Fariz ke dokter. Asalamualaikum”.
“Walaikumsalam,” bude menutup telepon. Bude bilang terakhir ayah yang bicara. Ayah, mengapa dia tidak berbicara padaku untuk sekedar mengatakan kangen atau selamat ulang tahun. Apa ayah belum bisa menerima keadaanku? Ya Allah, aku sangat menyayangi ayah, kuharap dia pun begitu.
Hari ini aku begitu semangat sekolah. Ulanganku hasilnya memuaskan. Memang benar janji Allah, siapa yang bersungguh-sungguh maka dia yang akan berhasil. Aku selalu menyempatkan belajar setelah shalat tahajud karena saat itu otak masih fresh. Aku memang selalu semangat sekolah. Ada teman-teman yang selalu menyayangiku. Walaupun tak sedikit pula yang mencemooh kalau aku ini seorang tunawicara. Sakit memang, tapi untuk apa aku selalu bersedih.
Setiba aku di rumah, bude menyambutku dengan wajah cemas. Ada apa ya? Aku mendekati bude, mengangkat tanganku menanyakan ada apa. Bude terlihat berat untuk menjawabnya.
“Nak, saudaramu Fariz masuk rumah sakit. Ginjalnya semakin mamburuk. Orang tuamu tadi menelepon, mereka sedang panik karena kondisi Fariz kritis”.
Astaghfirullahaladzim. Cobaan apa lagi ini ya Allah? Kasihan orang tuaku.
“Ki, keluargamu akan pulang ke Jakarta besok. Fariz yang meminta untuk pulang,” pakde memberitahuku. Apa? Aku tidak salah dengar? Mereka akan pulang dan itu artinya aku akan bertemu mereka. Tapi mengapa harus dengan keadaan Fariz sedang sakit? Ya Rabb, begitu banyak rencana-Mu yang begitu tiba-tiba ini.
Malam ini aku tidak bisa tidur. Aku disibukkan oleh perasaan yang bercampur aduk ini. Oh ayah, ibu, aku akan bertemu mereka, ingin mencium tangannya dan memeluknya. Hingga akhirnya aku pun terlelap dalam mimpiku.
***
Pagi ini aku bersama bude dan pakde ke RS Islam Jakarta karena Fariz langsung dibawa ke sana. Selama di perjalanan, aku hanya duduk diam. Tubuhku rasanya hangat dingin. Aku hampir tidak percaya kalau waktu yang aku tunggu-tunggu itu datang juga. Bude merasakan kecemasanku, dia menggengggam tanganku erat.
Aku dan bude berlari kecil menuju ruangan dimana Fariz dirawat. Aku masih sibuk menata hatiku. Ya Allah, mengapa bertemu dengan orang tua saja aku seperti ketakutan sekali. Tenangkan hatiku ya Rabb. Aku memandang lurus ke depan. Aku pun melihat sosok seorang wanita dan lelaki di sana. Setelah semakin dekat, aku tahu itu mereka! Ayah dan ibu.
Ibu berdiri melihat kedatanganku. Matanya sayu dan berkaca-kaca. Ia langsung mendekapku. Hangat sekali. Rasanya aku tidak mau pelukan ini lepas. Damai merasuk ke dalam hatiku. Kami pun mengungkapkan rasa haru lewat tangis yang pecah.
“Azkiya, kamu sudah besar nak. Ibu rindu padamu, rindu sekali nak,” ibu mencium kepalaku. Ya Allah, baru kali ini aku merasakannya. Bahagia sekali. Aku pun mencium tangannya lama, lalu tangan ayah. Kucium dengan khidmat. Kurasakan energi kasih sayang dari mereka yang tak pernah kurasakan selama ini.
Tak lama kemudian, dokter mengatakan kalau Fariz butuh donor ginjal untuk bertahan hidup. Ayah terlihat semakin cemas. Aku ambil selembar kertas dari agenda kecilku. Kutulis: ayah, jangan bersedih. Allah tidak akan memberi cobaan di luar kemampuan umat-Nya. Kita harus sabar dan ikhlas yah. Kuberikan itu pada ayah. Tiba-tiba raut muka ayah berubah.
“Kau pikir dengan sabar si Fariz bisa selamat? Fariz itu anakku yang paling aku harapkan. Cuma dia yang bisa meneruskan usaha bisnisku. Selama ini aku bersabar tapi tak ada perubahan pada Fariz!” suara ayah meninggi. Aku terkejut dengan sikap ayah. Tapi kucoba tersenyum, kutulis lagi: Azkiya selalu siap membantu ayah semampu Azkiya.
“Kamu? Kamu bisa apa? Bicara saja tidak bisa, mau bantu apa. Cuma bisa nyusahin!” ujar ayah ketus. Deg, hatiku bagai dihujam palu. Sakit sekali. Ibu terdiam tak berani berbicara, dia hanya menangis. Ternyata ayah begitu tak menginginkanku. Aku langsung berlari jauh mencari tempat menyendiri.
Aku merenung. Aku merasa tidak berarti lagi. Pertemuan yang menyakitkan. Ternyata kenyataan lebih menyakitkan bagiku. Aku ingin berteriak, tapi tak bisa. Aku benci pada diriku sendiri, mengapa aku tak bisa bicara? Mengapa ayah membenciku? Aku tak pernah meminta terlahir seperti ini.
***
Wajah ayah beberapa hari ini terlihat bahagia. Sudah seminggu Fariz dioperasi pencangkokan ginjal. Operasinya sukses. Pertama kali sadar, Fariz ingin bertemu denganku. Aku merasa bahagia sekali melihatnya sudah sadar. Setelah bertemu, kami mencurahkan rasa bahagia itu. Aku memeluk tubuhnya yang terbaring lemah. Fariz tak malu menangis sesegukan. Aku berisyarat kalau aku mencintainya. Fariz dengan mudah menangkapnya. “Aku juga mencintaimu, adikku,” ungkapnya. Ibu, bude, pakde menangis melihat kami. Ayah hanya melihat tanpa ekspresi haru.
“Ayah, jangan benci Azkiya lagi. Dia tidak salah. Fariz masih bisa hidup ini karena ginjal dari Azkiya. Dia yang mendonorkan satu ginjalnya untuk saudaranya ini,” Fariz menjelaskan. Aku hanya menggelengkan kepala agar Fariz jangan meneruskan kata-katanya. Ekspresi wajah ayah berubah seketika. Ia bagai tak percaya. Ibu mengangguk meyakinkannya.
“Ayah, Azkiya tidak berdosa. Apakah terlahir tak sempurna itu dosa? Mengapa kita menghukumnya seperti ini Yah? Cukup! Cukup sudah kita menghukumnya. Apa ayah tidak mencintai putri kandung ayah sendiri?” ibu terlihat emosi.
Tubuh ayah gemetar. Air matanya menetes perlahan. Aku pun tak kalah menangis deras. Kata-kata ibu cukup mewakili pertanyaanku. Ayah mendekatiku perlahan. Ia pun memelukku erat lalu mencium kepalaku. Hal yang belum pernah aku rasakan dari seorang ayah. Kubalas dengan meraih punggung tangannya, kucium dengan penuh khidmat. Suasana haru biru membekukan ruangan itu.
“Maafkan ayah nak. Ayah telah berdosa mencampakkanmu. Entah bagaimana ayah menebus kesalahan ayah,” ayah terus mencium kepalaku. Bahagia memenuhi segenap hatiku. Subhanallah….
Ibu ikut memelukku. Kami hanyut dalam perasaan yang selama 15 tahun ini tak terungkapkan. Bibirku bergetar, ingin sekali aku berucap, satu kata saja. Pelukan ibu kulepas perlahan, kutatap matanya. Ya Allah, kumohon, izinkan aku berbicara satu kata saja. Aku tidak meminta banyak, hanya satu kata yang selalu ingin kukatakan. Segenap tenaga aku kumpulkan. Aku tarik nafas dalam-dalam.
“I...bu..,” tiba-tiba kata itu terucap dari bibirku. Ibu dan semuanya terkejut dengan apa yang kukatakan. Aku pun hampir tak percaya. Air mataku tak terbendung lagi. Itu kata pertama yang kuucapkan. Walau tak begitu lancar, aku bahagia karena bisa mengucapkannya karena mungkin hanya saat saja itu dapat kuucapkan.
Ayah, walau lama tak bersama
Rasa bangga dan cinta untukmu tetap kujaga
Aku menyayangimu lebih dari nyawaku
Jangan kau tanya berapa lama aku sanggup menunggu ridhomu
Hingga akhir hayat tetap kutunggu
Ibu, walau tak selalu bisa kusebut namamu
Namamu tumbuh mewangi di hati
Kau bagai telaga di tengah kekeringanku
Jangan sampai air mata jatuh di sudut matamu ibu
Karena dukamu menyiksaku, bahagiamu itu citaku


By: RESTI
FKIP Biologi O7
06071009036
11 April 08

Semua Karena Cinta

Mataku masih terpejam. Air dari sudut mataku masih terus mengalir. Hangatnya merambat di pipiku. Peristiwa demi peristiwa, kenangan demi kenangan terputar tak karuan di memoriku. Goncangan mobil travel dan dinginnya AC mobil seolah tak mengusikku untuk memejamkan mata.

Tadi subuh….
Jam 3 dini hari aku terjaga, bangkit dari kasur empukku. Air wudhu dingin merasuk sampai ke tulangku, mensucikan kotoran yang melekat. Subhanallah..
Kuambil 4 rakaat shalat tahajud. Betapa nikmatnya shalat di malam hari. Begitu sejuk begitu khusyuk.
Pukul 03.35 aku kembali merebahkan tubuh di kasurku. Beberapa menit kemudian aku terlelap. Belum sepenuhnya aku terbang ke alam mimpi, handphoneku berdering. Ibuku? Kulihat pukul 04.00. Buru-buru kuangkat handphone itu.
“Halo assalamualaikum. Ada apa Bu?” aku sedikit terkejut mengapa ibu menelepon sepagi ini. Biasanya ba’da subuh baru menelepon.
Yang kudengar adalah isakan tangis dari seberang sana. Ibuku menangis. Bertambah kecemasanku.
“Bu, ada apa?”
“Ti..Nek anang meninggal..” sayup suara ibu. Hanya kata terakhir yang kudengar.
“Meninggal? Siapa Bu yang meninggal?”
“Nek anang…” suara ibu nyaris tak terdengar, yang terdengar jelas adalah isak tangisnya.
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un…” relung hatiku yang paling dalam bagai dihentak keras hingga sakitnya menguras dalam air mataku.

Ya, air mata itu tak henti-henti mengalir, tak dapat kubendung sampai perjalanan pulang ini..
“Ayuk merasakan ini mimpi dek,” aku membuka percakapan dengan adikku. Sedari awal perjalanan kami hanya diam, dengan lamunan masing-masing.
“Iya yuk. Apalagi aku, sudah dua bulan tidak bertemu dengan nek anang. Padahal tiap hari selama 12 tahun ini selalu melihatnya. Mengapa nek anang tidak menungguku? Aku sangat rindu padanya,” ujar caca, adikku yang memang selama dua bulan ini tinggal di Palembang karena harus bimbel dan ikut tes snmptn.
“Ayuk juga tidak menyangka. Padahal baru dua hari kemarin ayuk pulang ke Lahat. Nek anang masih tampak sehat-sehat saja. Masih sempat bercanda dan tertawa. Tapi…Ya Allah..” aku tidak sanggup berkata-kata lagi.

Nek anang….
Sosok yang berarti bagi hidupku sampai saat ini. Nek anang adalah kakek yang sangat baik, penuh kasih sayang terhadap anak cucunya, terutama aku dan adikku, Caca. Dari TK hingga tamat SMA kami tinggal bersama nek anang dan nenek. Mereka merawat dan mendidik kami dengan kasih sayang.
Nek anang sosok yang tegas, disiplin, cerdas, namun punya selera humor yang baik dan sangat penyayang. Di balik sifatnya yang keras ada cinta dan ketulusan yang luar biasa.
Nek anang sangat telaten merawat cucunya. Yang paling kuingat, setiap pagi, nek anang menyiapkan air hangat untuk kami mandi. Membuatkan segelas susu manis semanis cintanya untuk kami. Menyemirkan sepatu kami agar terlihat selalu rapi. Tak jarang pula nek anang menyuapkan kami sarapan. Semua ia lakukan karena cintanya yang tulus.
Beranjak sore, nek anang sudah menghadirkan segelas susu hangat lagi. Lalu dengan peci dan sarungnya ia siap mengajar kami membaca Al-Quran. Subhanallah. Semua ia lakukan karena cinta.
Seusai belajar membaca Al Quran, nek anang memeriksa PR kami. Membantu kami menyelesaikannya. Terkadang aku agak cemas karena jalan mengerjakan jawaban nek anang agak berbeda dengan contoh di buku. Tapi ternyata jalan nek anang tidaklah salah, malah ibu guru di sekolah membenarkan jalanku dalam mengerjakan PR. Tak jarang aku jadi menemukan trik baru yang lebih mudah dalam mengerjakan soal matematika. Semua berkat nek anangku^^
Biasanya setelah mengerjakan PR, nek anang mengajak kami keluar, berdiri di depan pagar rumah, menunggu jajanan yang lewat. Aku paling suka makan roti donat. Nek anang pun membelinya untukku. Semua ia lakukan karena cinta.
Hari pun beranjak malam.
Aku, adikku, nenek dan nek anang menonton tv bersama. Biasanya aku tidak kuat menonton sampai malam, maksimal pukul 20.00. Alhasil aku tertidur di depan tv. Besok pagi aku terbangun dan baru sadar kalau aku sudah berada di atas ranjang empuk. Ternyata nek anang tak pernah membangunkanku untuk tidur di kamar. Tapi ia menggendongku dengan hati-hati, jangan sampai aku terbangun, menggendongku hingga ke tempat tidur. Semua ia lakukan karena cinta.

Ketika aku kelas 4 dan Caca kelas 1 SD. Nek anang menjanjikan akan memberikan sebuah hadiah jika kami mendapat peringkat 1. Itu bukanlah suatu tantangan yang mudah bagi kami karena paling banter biasanya aku masuk 5 besar bukan 3 besar apalagi juara 1. Tapi hadiah yang dijanjikan begitu menarik bagiku saat itu, sebuah jam tangan cantik. Aku dan adikku pun begitu bersemangat belajar dan punya ambisi besar mendapat juara 1! Alhasil ketika hari pembagian raport, nenek dan nek anang begitu terkejut dan bahagia bukan kepalang karena aku dan adikku berhasil mendapat juara 1! Setelah hari itu, aku dan adikku selalu mendapat juara di kelas. Hal yang membanggakan. Semua berkat nek anang tercinta dan semua ia lakukan karena cinta…

Saat aku SMP, aku pernah cidera sepulang dari mengikuti pawai drumband, aku terjatuh dari motor. Pulang ke rumah dengan penuh luka dan menangis. Nek anang telah menunggu di depan pintu, masih kuingat wajahnya yang begitu cemas. Nenek mengomel sana sini mengatakan kenapa tidak hati-hati, tetapi nek anang tidak banyak bicara, beliau dengan sigap membersihkan luka-lukaku dan membalutnya dengan perban. Setiap hari ia selalu ingat membersihkan lukaku dan mengganti perbannya, sampai lukaku benar-benar sembuh. Subhanallah..nek anang, semua ia lakukan karena cinta…

Hari itu semua cerita bermula. Bagai sebuah pil pahit yang harus ditelan. Saat itu aku masih kelas 2 SMP, sekitar 8 tahun yang lalu. Nek anang jatuh pingsan saat hendak keluar mengambil air wudhu untuk solat malam. Nek anang terkena stroke. Hampir seminggu nek anang masuk rumah sakit. Aku begitu sedih melihat keadaan orang yang sangat kusayang terbaring lemah di ranjang pesakitan dengan selang infus dan selang apalah yang tak kutahu namanya yang dimasukkan ke dalam hidungnya. Pasti itu menyakitkan. Nek anang tak mau berlama-lama di rumah sakit dan meminta pulang. Namun keadaan telah berubah. Nek anang kembali sebagai nek anang yang berbeda, nek anang tak dapat lagi berbicara, tak dapat lagi berjalan. Setelah itu, aku tak pernah mendengar candanya, nasihatnya, atau marahnya.
Bertahun-tahun nek anang hanya berbaring di ranjang istimewanya atau duduk di kursi rodanya. Ingin sekali rasanya sewaktu waktu mendengar nek anang memanggil namaku, tapi itu hanya harapan yang tak mungkin terwujud. Begitu sedih dan menyakitkan bagiku, tapi apa yang aku rasakan pasti belum seberapa sakit dan pedih dengan yang nek anang rasakan. Pasti sangat membosankan bertahun-tahun hanya duduk di kursi roda, tanpa bicara, tanpa pergi kemana ia suka.
Namun ada yang tidak berubah. Kasih sayang dan perhatiannya. Walaupun dalam keadaan sakit, nek anang tetap memperhatikan apakah kami sudah makan atau sudah mandi atau bahkan mengingatkan jika waktu solat sudah tiba. Subhanallah..tidak berubah, semua itu ia lakukan karena cinta…

Tiba waktunya aku pergi meninggalkan rumah, meninggalkan nenek dan nek anang karena kuliah di Inderalaya. Sesekali aku pulang ke Lahat. Kondisi nek anang tetap sama, hanya seringkali kulihat ia kesulitan bernapas, sesak. Kata dokter, jantung nek anang tidak nomal lagi, hanya sebagian yang berfungsi dengan baik. Dokter memvonis kalau hidup nek anang hanya bergantung dengan kekuatannya. Sungguh menyakitkan.
Bagaikan sebuah keajaiban. Setahun berlalu, nek anang tetap bertahan dengan kondisinya. Seperti biasa, makan, minum, nonton tv bersama, sesekali bercanda, semua berjalan seperti sedia kala. Nek anang seperti orang sehat saja, wajahnya ceria, hanya tak bisa berbicara dan berjalan, itu saja.

Sabtu itu aku memutuskan untuk pulang ke Lahat. Walaupun hanya libur 2 hari, aku betul-betul ingin pulang. Selain kangen dengan ibu, entah kenapa aku berkeinginan kuat untuk pulang. Tiba di rumah selepas magrib, disambut ibu tercinta. Yang paling ingin kulihat berikutnya adalah wajah sang kakek, nek anangku. Seperti biasa, ia tengah duduk di atas ranjangnya, tersenyum melihat kehadiran cucunya.
Dua hari bersamanya, dua hari yang ternyata merupakan hari-hari terakhir bersamanya. Aku kembali ke Inderalaya, pamit dan mencium tangannya. Andai aku tahu itu kali yang terakhir, entah akan kulepas atau tidak tangannya.
…………………..
Kakiku gemetar ketika tiba di rumah.
Rumah telah ramai dengan bapak-bapak yang memakai peci dan ibu-ibu yang berkerudung. Begitu menakutkan membayangkannya. Dengan menghalau segala ragu, sekuat tenaga aku berjalan. Tak peduli siapa yang ada saat itu, aku hanya mencari nek anang. Ada.
Kulihat sesosok yang terbaring kaku, dengan muka yang ditutup kain putih. Nenek duduk di samping sosok itu. Gemetar tanganku membuka kain penutup itu.
Ya Rabb, kudapati wajah nek anangku. Wajahnya pucat namun tersenyum. Seperti bahagia sekali. Air mataku pun mengalir deras menandai hancur dan perihnya hati. Kuusap pipinya, dingin. Ya Allah, nek anangku kedinginan?
Aku puaskan memandangi wajahnya inci demi inci. Terputar semua kenangan, kala aku tertawa bersamanya, kala aku membantahnya, dan segala pengorbanannya. Semakin deras air mataku.
Kuambil air wudhu lalu kembali duduk di samping jenazah nek anang. Ya, jenazah. Kini nek anangku jadi jenazah. Kubaca surat yasin dekat telinganya. Semoga ia mendengar. Sebagai wujud cinta dan terima kasihku untuknya.
Hujan gerimis mengantar kepergian nek anang. Jenazah nek anang dimasukkan ke dalam lubang, ya lubang kubur. Tempat peristirahatan terakhir nek anangku. Gerimis hatiku, bagaimana mungkin nek anang akan tinggal sendirian di dalam sana. Bukan ranjang empuk dan hangat. Ah, bukankah kita semua akan seperti itu?
Ya Allah…semoga nek anang mendapat tempat yang sebaik-baiknya disana. Jauhkan ia dari segala siksa kuburMu, terima semua amal ibadahnya. Jaga ia disana ketika penjagaan kami tak sampai padanya. Masukkanlah ia ke dalam surgaMu dan pertemukan kelak kami di jannahMu. Amin ya Robbal Alamin.
*2 bulan 11 hari kepergiannya…Tak ada lagi yang tersenyum menyambut kepulanganku atau menghantar pergiku dengan cintanya. Tak ada lagi yang duduk di kursi roda, teman setianya. Atau tak ada lagi yang menangis di atas kursi roda saat maaf-maafan di hari raya. Dan aku akan merindukannya..
Nek anang….walau kini ragamu tak lagi bersama kami dan senyummu hanya ada dalam ingatan kami. Tapi kau tetap hidup di hati kami, selamanya…..
Terima kasih atas segala yang kau berikan karena cinta...

(Sebuah kado lebaran untuk alm.nek anang)
Resty

Kerinduan

Masih kuingat dan masih terasa, hari ketika hujan deras membasahi bumi-Mu dan dinginnya angin memeluk malam itu hingga tanah mencair dalam beku. Butirannya membasahi tubuh dan mendinginkan kelu, ia bukan hanya menggetarkan tapi juga membuat siapa pun yang beradu dengannya akan merasa kalah karena tak berdaya. Di malam itu aku belajar, bahwa BELUMLAH APA-APA yang sudah kulakukan. BELUMLAH SEBERAPA, langkah yang terlanjur kutapaki. Di masa itu, aku BELAJAR, banyak sekali BELAJAR. Tentang yang namanya prinsip, tentang IKHLAS, tentang HARAPAN, juga tentang DO’A-DO’A panjang yang sering lalai untuk kuucapkan. Di masa itu kutanamkan dalam jiwa, bahwa masih banyak yang harus terselesaikan, masih banyak cerita yang belum sempat kusempurnakan dan kuakhiri dengan indah. Di masa itu, Engkau bukan hanya memberiku satu momen yang paling berharga, namun juga memberiku cahaya kelapangan untuk berpikir secara jernih.
“… Dan sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, Allah mengujinya. Maka barangsiapa Ridha dengan ujian Allah, baginya Ridha dari Allah..” Sungguh, bukan hanya sekedar pesan cinta, namun juga ujian bagi mereka yang benar-benar ridha(rela) dengan ketentuan-Mu, atau juga ia bisa menjadi azab sebagai penggugur dosa-dosamu. Subhanallah, begitu cara Allah mengingatkan kita. Kadang kita merasa kalah karena tak mampu melangkah, tapi, Allah lebih sering memberi kita seberkas harap untuk tak kenal lelah berusaha. Cinta dan karunia-Nya tak terhingga, tak mampu kau hitung dengn logika.

Aku kembali bergetar ya Rabb.. Setelah semalam kurangkai dalam-dalam kisah perjalanan panjang para pencinta-Mu, perasaan sedihku yang membuncah atas kerja-kerjaku yang tak seberapa terluapkan dalam butiran air mata, kupeluk erat-erat semua keresahan yang tiba-tiba hadir menggetarkan tubuh karena langkah-langkahku yang tak seindah semestinya. Semuanya benar-benar membangunkanku dari buaian dan kekotoran hati akan amal-amal yang belumlah seberapa. Merindui Rasul-Mu, malu karena belum aku selembut Abu Bakar, menangis karena belum aku setegas Umar bin Khathab, apalagi seistiqomah Aisiyah dan Sumayyah yang tetap teguh dengan tauhidnya hingga ajal di depan mata… Mungkinkah aku, yang tak punya kontribusi dan kerja-kerja nyata ini bertemu dengan mereka ? Merasakan manisnya duduk bersama majelis Rasulullah..Allahu.. jikalau syurga dan derajat syuhada itu begitu jauh denganku, maka berikan aku KESEMPATAN dan WAKTU untuk BELAJAR. Belajar untuk terus memperbaiki diri. Belajar untuk meletakkan dunia di tanganku bukan di hatiku.

Untuk mereka ya Rabb, yang rela memberikan harta dan jiwanya untuk-Mu,.. Kutitip berjuta rindu tak terkira.. Kukirim salam cinta terindah.. Kalaupun mungkin ku tak layak bersama mereka, izinkanlah aku untuk terus mencintai mereka, meneladani mereka, hingga menjadikan jiwa-jiwa ini penuh dengan kobaran semangat mereka.

Selasa, 22 Februari 2011

plegmatis, bukan?

Saya sedikit tertarik dengan mengenal tipe-tipe kepribadian yang saya kenal lewat buku, internet, psikolog (?). Mungkin karena tipikal mengamati saya yang menjadikannya menarik. Yup, saya suka mengamati. Jadi, hati-hati kalau dekat2 saya ~.~ *ngomong apa saya, saya anak manis kok,,beneran* Dari sekian macam tipe kepribadian yang saya ketahui, ini ciri-ciri yang yaaa mirip2 lah dengan saya, walau gak semua yg elo denger itu bener bro! Begini nih sumber yang saya dapat, maafkan saya lupa nama sumbernya:
Saya sang Plegmatis “Cinta Damai”.
Orang plegmatis adalah orang yang tak suka konflik, karena itu disuruh apa saja ia mau, sekalipun ia sendiri nggak suka. Baginya kedamaian adalah segala-galanya. Jika timbul masalah, ia akan berusaha mencari solusi yang damai tanpa timbul pertengkaran. Ia mau merugi sedikit atau rela sakit, asalkan masalahnya nggak terus berkepanjangan.
*izinkan saya berkomentar: saya memang tidak suka konflik dan saya rasa setiap orang seperti itu. Tapi, memang saya agak cepat bereaksi ketika berada di tengah konflik, yaitu kepala saya seperti mau pecah (pliss deh). Mendengar orang berdebat hebat sampai adu urat membuat saya frustasi (!). Disuruh apa aja mau? Owow, enak aja nih..Saya bukan pesuruh ya..Tapi selagi itu adalah untuk kebaikan umat dan semesta alam (lebay) saya akan rela melakukannya. Saya orang yang lebih memilih mengalah walaupun sebenarnya saya tidak salah, suatu sikap yang mau saya ubah nih, saya harus berani mengatakan kalau saya tidak salah, kamu donk yang harus berubah sikap! (kira-kira begitu).

Orang plegmatis kurang bersemangat, kurang teratur dan serba dingin. Cenderung diam, kalem, dan kalau memecahkan masalah umumnya sangat menyenangkan. Dengan sabar ia mau jadi pendengar yang baik, tapi kalau disuruh untuk mengambil keputusan ia akan terus menunda.
*komentar saya: kurang bersemangat? iyalah kali ya? mungkin cenderung terlihatnya seperti itu. Tapi kalau saya sudah memutuskan sesuatu, saya bisa menjadi semangat luar biasa dan tidak ada seorang pun yang bisa menghalangi saya,huwahaha. Kurang teratur? kalau makan gak teratur sih bener, teratur apa nih. Saya malah suka keteraturan. Teman saya mungkin ada yang gemas melihat saya yang cerewet ketika saya bilang 'ih,,kok gak rapi sih?', adik saya juga sering jadi sasaran omel2an saya masalah rapi tak rapi. ~sok banget ya~ Dingin? enggak deh, saya selalu menghangatkan seperti matahari,hoho. Diam,ok. Kalem, iya deh. Menunda-nunda keputusan? Ihh,,kok tau sih? Saya memang begono noh, rada sulit menimbang keputusan penting, sampai bisa frustasi tujuh hari tujuh malam (?) Tapi, sekali lagi, kalau sudah diputuskan, saya tidak akan menyesal dan setia sampai setengah mati sama keputusan saya ~keputusan apa sih?~ Kepribadian Phlegmatis "Damai" ( Introvert – Pengamat - Pesimis )
1. Emosi Phlegmatis Damai
Kepribadian rendah hati, Mudah bergaul dan santai, Diam, tenang, dan mampu,
Sabar, baik keseimbangannya, Hidup konsisten, Tenang tetapi cerdas, Simpatik
dan baik hati, Menyembunyikan emosi, Bahagia menerima kehidupan, Serba guna

2. Phlegmatis Damai di Pekerjaan
Cakap dan mantap, Damai dan mudah sepakat, Punya kemampuan administratif,
Menjadi penengah masalah, Menghindari konflik, Baik di bawah tekanan, Menemukan
cara yang mudah.

3. Phlegmatis Damai Sebagai Teman
Mudah diajak bergaul, Menyenangkan, Tidak suka menyinggung, Pendengar yang
baik, Selera humor yang menggigit, Suka mengawasi orang, Punya banyak teman,
Punya belas kasihan dan perhatian.

The last,,mungkin terdengar sok-sokan yah tulisan kali ini? Halloooo..Jangan mengernyitkan kening seperti itu, jelek tau. Saya cuma mengingatkan kita semua, terlebih saya pribadi, kalau setiap kepribadian itu tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Tidak ada satu tipe kepribadian yang cocok 100% sama kepribadian kita. Biasanya kita adalah gabungan, campuran, kombinasi atau blesteran dari tipe2 kepribadian itu. Saya juga tidak yakin saya 100% asli plegmatis karena terkadang saya bisa menjadi melankolis, yang ingin semua yang saya lakukan sempurna. Kadang juga saya bisa menjadi koleris, yang kuat, mampu memimpin, dan suka tantangan. Kadang lagi jadi sanguinis, ingin populer (hoho), ingin hidup yang berwarna warni, yang emosinya bergejolak jolak. Apapun itu, be your self aja lah! Itu yang saya suka. Saya tidak suka jika harus menjadi orang lain di luar diri saya sendiri. Maka saya berusaha untuk jujur dengan diri saya sendiri.

tak seperti bintang di langit, tak seperti indah pelangi
karena diriku bukanlah mereka, ku apa adanya
wajahku memang begini, sikapku jelas tak sempurna
kuakui ku bukanlah mereka, ku apa adanya
menjadi diriku..dengan segala kekurangan
menjadi diriku..dengan segala kelebihanku
terimalah aku seperti apa adanya
aku hanya insan biasa, aku tak sempurna
tetap kubangga dengan apa yang kupunya
setiap waktu kunikmati, anugerah hidup yang kumiliki
(a song from Edcoustic)

Rabu, 16 Februari 2011

You are what you think

Bismillahirrahmanirrahim...

Sore ini terbesit keinginan untuk menuliskan sesuatu tentang sepotong kalimat, 'kita adalah apa yang kita pikirkan'.

Saya kembali teringat akan sebuah tausiyah dari salah seorang adikku ^^ (jazakillah ya dek), yang menceritakan kisah sebuah arloji.
Alkisah, suatu hari, si arloji ditanya oleh tuannya.
"Hei arloji, bisakah kamu berdetak 1000 kali dalam satu menit?"
si arloji menjawab dengan nada terkejut," Apa? Bagaimana mungkin aku bisa berputar sebanyak itu dalam waktu satu menit?"
"Kalau begitu bisakah kamu berdetak 100 kali dalam satu menit?"
si arloji berpikir keras lalu menjawab," Rasanya masih terlalu sulit untukku"
"Baiklah, kalau begitu bisakah kamu berdetak 60 kali dalam satu detik?
arloji kembali menimbang-nimbang," Oh, kalau begitu aku sanggup"
Jadilah, tugas arloji hanya berdetak 60 kali dalam satu menit..

Dari kisah di atas, simpel sekali hikmahnya. Seberat atau seringan apapun beban yang diberikan pada kita adalah tergantung bagaimana cara kita memandangnya. Ketika kita melihat suatu masalah itu berat, maka yang dirasakan ya benar-benar berat dan sebaliknya.

Hmm, berbicara masalah persepsi dan cara memandang, saya sering juga memperhatikan bagaimana orang-orang hebat memandang setiap keadaan yang ada di sekitarnya..
Bagaimana mereka dapat menjadikan pelajaran setiap apa yang dilihat. Mungkin ini bisa jadi sesuatu yang kita renungkan.

Ya contohnya saja, kita sering mendengar kabar kematian, tapi jarang sekali dijadikan nasihat.
Sering kita melihat orang-orang yang hidup serba kekurangan, tapi jarang sekali kita jadikan nasihat. Kita lebih sering menggerutui, kenapa aku tidak punya seperti dia? Atau duh, cuma bisa makan nasi tempe hari ini nih (hufh), tapi tak pernah bersyukur, ternyata ada lho yang menahan perutnya yang lapar karena tak mampu membeli barang sebuah kerupuk pun...

Kembali ke 'kita adalah apa yang kita pikirkan',
saya bukanlah orang yang paling baik menata pikiran saya kawan.
Tapi, bukankah tidak salah jika kita berusaha untuk memperbaiki diri dan mengajak orang lain agar lebih baik dari hari ini..
Poin penting dari tulisan saya ini seperti ini, berpikirlah dengan cara yang berbeda ketika kita merasa buntu menghadapi sebuah permasalahan.
Ya, saya sedang mencoba seperti itu.
Menganggap sebuah hal yang mungkin bagi orang lain aneh, tapi saya bangga karena tak banyak orang aneh di dunia ini..
Contohnya saja kawan, di kampus. Saya sering senyum sendiri ketika saya menyadari betapa anehnya saya.
Teman-teman satu kelas dengan saya di semester 8 ini betapa tiap hari sibuk dengan proposalnya..sibuk dengan bimbingan, perbaikan proposal, dsb..
Lah, tapi kok saya masih sibuk dengan sks syuting..(^^v)
bukan hanya saya, ada satu orang teman setia saya juga di kelas (he..nyai)
Teman-teman sering mengernyitkan keningnya, ketika bertanya, "Res, mau kemana?"
aku hanya senyum, "ada syuro"
mereka hanya bilang, "ohh, padahal kami mau ngajak ke perpus"

Sungguh jadi orang aneh ya? Mereka tentu aneh, kok bisa-bisanya saya dengan santai di saat-saat yang menyibukkan bagi mereka..
^__^
Teman, saya juga punya keinginan besar seperti kalian untuk urusan kuliah ini. Dan tentu saja aku bukan tidak bergeming dengan kewajiban akademikku. Tapi aku sedang menyiapkan langkahku, untuk mundur selangkah dan maju dua-tiga langkah, bahkan berlari..

*utk saudari2ku seperjuangan (terutama nyai), jangan ragu dengan apa yang kita pilih. Allah tak pernah ingkar janji. Ketika kita menolong agama Allah, maka yakinlah Allah pun menolong kita. Urusan apapun, serumit apapun, akan mudah jika Allah ridho atas diri kita. Tetap semangat dan saling menguatkan.
Kita sama seperti mereka ukhti..Semangat dengan syuting sambil bimbingan, bersyukurlah karena masih bisa memikirkan konsepan" sambil menyusun proposal..
Semangat!!!
Kita buktikan kita bisa menyelesaikan keduanya dengan baik, tanpa ada yang terzolimi..Amin..

Selasa, 15 Februari 2011

proposal usulku

PROPOSAL USUL PENELITIAN
MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
 

Judul                           : Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Lewat Modifikasi Model TGT (Team Game Tournament) Tahap Kelompok, Game dan Turnamen Pada Pembelajaran Biologi Siswa SMA Negeri 11 Palembang.
Nama                           : Resti
NIM                            : 06071009036
 

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
            Pendidikan merupakan perwujudan dari salah satu tujuan pembangunan nasional Indonesia, yaitu ingin mencerdaskan kehidupan bangsa. Saat ini bidang pendidikan merupakan salah satu bidang pambangunan yang dapat parhatian serius dari pemerintah. Dengan memahami tujuan pendidikan maka tercermin bahwa pendidikan merupakan faktor yang sangat strategis sebagai dasar pembangunan bangsa.
             Isu-isu strategis pendidikan atau permasalahan pembelajaran di Indonesia terus bergulir dan belum terpecahkan meskipun berbagai solusi terus dilakukan. Isu-isu strategis tersebut dapat digambarkan dari hasil penenlitian berikut. Penelitian pertama yaitu hasil survey The Political and Economi Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong disimpulkan bahwa mutu sistem pendidikan Indonesia berada di urutan ke 12 di Asia, posisi ini didasarkan pada mutu tenaga kerja yang diukur berdasarkan hasil sistem pendidikan. Selanjutnya, penelitian Suyanto dan Hisyam (2007:7) menyatakan, dalam skala mikro proses pembelajaran di hampir semua jenjang pendidikan hanya memusatkan perhatiannya pada kemampuan otak kiri peserta didik. Sebaliknya, kemampuan otak kanan karena ditumbuhkembangkan. Kondisi tersebut menyebabkan pendidikan nasional tidak mampu menghasilkan orang-orang yang mandiri, kreatif dan mampu berkomunikasi secara baik dengan lingkungan fisik dan sosial.
            Pendidikan biologi merupakan bagian dari pendidikan sains dan sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah yang diharapkan dapat mencapai tujuan pendidiakn nasional yang ada. Biologi merupakan wahana untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, keterampilan sikap serta bertanggung jawab kepada lingkungan. Biologi berkaitan dengan cara mencari tahu dan memahami alam dan mahluk hidup secara sistematis sehingga pembelajaran biologi bukan hanya penguasaan kumpulan-kumpulan fakta tetapi juga proses penemuan.
Namun pada kenyataan yang ada dalam pendidikan biologi belum adanya peningkatan mutu pendidikan. Masalah-masalah pembelajaran sain atau biologi diantaranya adalah: pengajaran sain sang hanya mencurahkan pengetahuan (tidak berdasarkan praktek).
            Sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam belajar biologi. Kondisi seperti ini menyebabkan siswa kebanyakan diam (pasif), kurang aktif dalam bertanya maupun dalam menjawab pertanyaan dalam proses belajar mengajar. Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan menerapkan metode pembalajaran yang dapat mengaktifkan siswa dalam proses belajar mengajar. Keterlibatan secara aktif tersebut mencakup keterlibatan fisik maupun intelektual emosional (Dimyati dan Mujiono, 2006)
Tetapi dalam kenyataanya selama ini guru masih belum maksimal dalam melakukan pengolaan pembelajaran dengan baik, hal ini dapat dilihat banyak guru hanya mengajar dengan menyampaikan materi kepada siswa saja, sehingga proses belajar mengajar hanya didominasi oleh guru sehinnga siswa bertindak pasif dalam belajar. Kesulitan yang dialami siswa tidak lain kurangnya konsep dan guru belum sempurna dalam menerapkan pengolaan kegiatan pembelajaran.
Untuk itu diperlukan suatu pengolaan pembelajaran melalui penerapan dengan model yang sesuai yang dapat mengaktifkan siswa dalam belajar. Guru harus biasa memilih model yang tepat dan sesuai dengan materi pembelajaran untuk diterapkan.
Telah banyak penelitian pendidikan yang meneliti upaya meningkatkan hasil belajar siswa dengan model kooperatif learning yaitu tipe TGT karena model ini sangat mudah diterapkan. Oleh sebab itu, penulis tertarik menggunakan model TGT namun dimodifikasi dalam bentuk pelaksanaannya. Modifikasi tersebut didapatkan dari pengalaman penulis sendiri yang mendapatkan model baru dalam belajar oleh dosen yang disebut model Star Wars.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Lewat Modifikasi Model TGT (Team Game Tournament) Pada Pembelajaran Biologi Siswa SMA Negeri 11 Palembang.

Sesekali Bercermin Itu Perlu

Sebuah tulisan, bukan untuk menggurui atau men-judge, tapi hanya tulisan, nasihat hati, terlebih untuk diri pribadi.....

Untuk kita yang mungkin larut dalam dakwah, terkadang terasa penat memikirkan umat (walau hanya perasaan pribadi kita saja), untuk kita yang jenuh dgn aktivitas yang monoton (terasa tak membuahkan hasil), dan untuk kita yang merasakan kekeringan ukhuwah (yang katanya indah itu)....


Saudaraku,,pernahkah kita merenung mengapa semua itu bisa terjadi? Seringkali kita mengeluh ketika merasa kerja sendiri, kita bersedih ketika melihat satu per satu saudara kita mundur teratur (tapi tanpa ada usaha untuk mengetahui alasannya,hanya menebak-nebak), kita kecewa ketika merasa kerja tak dihargai, kita ngambek ketika merasa tak diperhatikan, atau kita merasa tinggal sendiri dan menjadi tumbal dari kemalasan-kemalasan saudara kita? Astaghfirullah aladzim....

Sekali lagi, ini hanya sebuah nasihat jiwa, terlebih untuk diri pribadi....

Semua amalan akan menjadi sia-sia belaka tanpa keikhlasan, terlebih lagi dakwah, sebuah aktivitas yang begitu mulia, karena denganya seorang hamba mengenal penciptanya Allah SWT untuk kemudian menyembahNya dengan tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun, akan hilang nilainya.
Ada beberapa tanda dan contoh dari generasi para sahabat atas keikhlasan mereka yang perlu menjadi perhatian para dai sehingga dapat mengontrol sejauh mana keikhlasannya dalam berdakwah. Diantara tanda tersebut ialah: Perhatian yang mendalam terhadap diri sendiri atas perasaan kurang dalam menjalankan hak-hak dan kewajibanya kepada Allah, dalam beribadah dan berdakwah. Bahkan kemarahan terhadap dirinya sendiri atas kekurangan itu, juga tidak melihat terhadap dirinya bahwa ia memiliki keutamaan secuil pun. Bukan justru merasa telah banyak berbuat untuk dakwah dan telah paling banyak ibadahnya. Allah berfirman: "Orang-orang yang memberikan apa yang telah dikaruniakan kepada mereka sedang hati mereka khawatir, sedang kepada tuhan merekalah mereka kembali." (Al-Mu'minun : 60)

Berikut beberapa sikap para salafus sholih dalam keikhlasan mereka beramal:

Abu Bakar Ash-Shiddiq ra memegang lidahnya lalu berkata: "Inilah yang akan membawaku kepada kehancuran."

Umar bin Khattab berkata kepada Huzaifah: "Apakah aku termasuk dari golongan mereka -yaitu orang-orang munafik- atau aku sebagaimana yang disebutkan oleh Rosulullah?"

Imam Syafi'I berkata: "Aku mencintai orang-orang sholeh namun aku bukan dari golongan mereka, semoga aku mendapatkan syafaat bersama mereka."

Muhammad bin Wasi' berkata: "Kalau sekiranya dosa itu mempunyai bau, kalian tentu tak sudi berdekatan denganku, karena baunya tubuhku oleh dosa."

Muhammad bin Aslam At-Thusi berkata: "Aku telah berjalan di bumi dan mengelilinginya, tidaklah aku melihat orang yang sholat menghadap qiblat yang lebih buruk sholatnya dari diriku sendiri."

Hasan Al-Basri rahimahullah mencela dirinya sendiri sambil berkata: "Engkau berkata dengan ucapan orang-orang yang sholeh, ahli ibadah dan taat, sedangkan engkau melakukan perbuatan orang-orang yang fasik dan riya' , Demi Allah.. Ini bukanlah sifat orang-orang yang ikhlas."

Yunus bin Abid berkata: "Aku telah menghitung seratus macam bentuk amal kebaikan, namun tak ada satupun yang ada di dalam diriku."

Fudhoil bin Iyadh berkata kepada dirinya sendiri: "Bagaimana engkau melihat orang yang banyak dosanya ini, sedikit sekali amalnya, sudah hampir senja usianya, namun belum bersiap untuk tempat kembalinya, belum mengisi dirinya untuk hari kematiannya, selalu menghiasi dunianya. "
Lalu ia duduk sambil kembali mencela dirinya: "Orang-orang berkumpul disekelilingmu menulis setiap ucapanmu, ohh.. engkau telah banyak bicara.. Celakalah dirimu, engkau telah banyak bicara. Malulah wahai orang bodoh, apakah engkau tidak tahu siapa dirimu sesungguhnya? Kalau sekiranya orang-orang itu tahu siapa dirimu niscaya mereka tidak akan duduk di sekelilingmu, tidak akan mendengar ucapanmu dan tidak akan mencatatnya darimu."

Begitulah di antara keistimewaan yang mereka miliki, semoga memberi motivasi para dai untuk meningkatkan keikhlasan dalam mengabdi kepada Allah.
Ya Rabb, jagalah selalu keikhlasan kami. Sungguh tiada yang patut dibanggakan, seberapa banyak pun kita merasa berbuat namun sesungguhnya itu sangat secuil. Mereka yang tidak terlihat, sedikit berbuat,tapi tulus ikhlas adalah jauh lebih beruntung daripada mereka yang merasa memikul semuanya sendiri namun sesungguhnya banyak kekhawatiran dan prasangka di belakangnya.

Adalah lebih baik ketika kita mengukur diri sendiri. Melihat kondisi orang lain bukan dari posisi kita, coba duduk di tempatnya, di dekatnya. Lalu bertanya, Mengapa hanya ada aku? Mengapa aku disini? Mengapa saudara2ku menjauh? Mungkin pribadi saudara kita sedang ada masalah, atau malah kita yang menjadi sebab masalah? Bisa jadi. Pernahkah kita berpikir orang lain jengah dengan sikap kita, membiarkan orang lain bertanya-tanya dengan tatapan kurang ramah kita. Kecil memang, tapi bisa memberi kesan negatif terhadap ukhuwah yang katanya indah bagi para aktivis dakwah.

Sekali lagi, ini hanya nasihat jiwa, terlebih untuk diri pribadi...
Saudaraku, semoga Allah menjadikan kita pribadi-pribadi yang selalu bersyukur, yang tak pernah merasa telah melakukan semua namun selalu merasa belum melakukan apa-apa dan perlu orang lain membangun impian dakwah kita. Sehingga ada perasaan ingin merangkul saudara di sampingmu, dengan sabar mendengarkan saudaramu (walau kau tahu saudaramu hanya membicarakan alasan).
Karena Hati hanya dapat disentuh dengan hati.

Wallahualam bishawab.
Sesungguhnya masih terlalu banyak kekurangan dari pribadi ini. Yang menulis tidak jauh lebih baik dari apa yang dituliskan. Semoga bermanfaat.
Afwan minkum.

Untukmu, Rasulku...

Semoga keselamatan dan keberkahan selalu tercurah padamu Rasul..
Mengapa saya memilih judul ini?
Karena saya teringat akan sepenggal kisah Rasulullah kurang lebih ceritanya sebagai berikut..

Suatu hari Rasulullah saw, seorang pemimpin yang luar biasa kuat, menangis sesegukan selesai melaksanakan solat.
Para sahabat pun bingung melihatnya. Ada apa gerangan sang Rasul menangis, padahal tak ada sebab ataupun hal yang patut membuat beliau sedih menurut para sahabat waktu itu..
Rasul terus menangis, seperti sedih sekali. Para sahabat yang tak tahan melihat air mata sang rasul pun akhirnya bertanya,
" Ya Rasul, mengapa engkau bersedih? apa gerangan yang membuatmu sedih?"
Dengan tercekat Rasul pun menjawab, "Aku sedang rindu pada saudara-saudaraku"
Para sahabat pun bingung mendengar jawaban rasul, lantas bertanya kembali, " Bukankah kami ini saudaramu?"
Rasul menggelengkan kepalanya, " Bukan, kalian bukan saudaraku, kalian adalah sahabatku. Saudaraku adalah mereka, umatku yang tak pernah berjumpa denganku, namun mereka tetap mencintaiku, tetap menjalankan sunnahku.."

Subhanallah....
Siapakah mereka yang dianggap sang rasul sebagai saudaranya? Mereka adalah kita wahai saudaraku..
kita yang tak pernah berjumpa dengan Rasullullah, terpisah jarak dan waktu yang sangat jauh.....
Insayaallah, semoga kita orang yang diaksud oleh rasul, yang tetap mencintainya, tetap istiqomah, tak pernah ragu akan sunnahnya.
lalu jika rasulullah saja sempat memikirkan kita hingga menangis karena rindu pada kita,lantas pertanyaannya, sudahkah kita menangis karena rindu yang menggebu pada Rasulullah? Jika sudah, kapan terakhir kali kita menangis mengingat rasul atau belum pernah sama sekali?

penggalan kisah yang kedua, yang seringkali membuat saya tertunduk haru, sedih, lagi malu..
kisah di detik-detik terakhir sakaratul maut sang rasul.
Saat itu, rasulullah terbaring lemah dengan keringat dingin yang mengucur deras di sekujur tubuhnya..
Ia menahan sakit yang luar biasa saat itu. Hingga malaikat pun tak sanggup menatap kesakitan hamba yang paling dicntai Allah itu..
Para sahabat yang melihat kondisi Rasul saat itu pun sedih sekali, sedih melihat orang yang mereka cintai tengah meregang nyawanya..
Rasulullah yang melihat malaikat Jibril yang saat itu membuang muka pun bertanya, "Ya Jibril, mengapa engkau tak mau melihatku? Apa begitu menjijikkan melihatku saat ini?"
Jibril pun menjawab," Tidak ya Rasul, sungguh bukan seperti itu. Aku tidak tahan melihat kekasih Allah merasakan sakt seperti itu."
Benar saja, Rasulullah merasakan sakitnya sakaratul maut saat itu, padahal malaikat sang pencabut nyawa melakukan tugasnya dengan luar biasa lembut. Izrail mencabut nyawa sang Rasul dengan sangat sangat lembut, tapi dengan cara terlembut pun sakaratul maut itu tetap saja menyakitkan.
Bayangkan saja sobat, sakaratul maut itu bagaikan tersayat 700 pedang, Allahu Robbi...
Di tengah kesakitannya, rasul berkata," Alangkah sakitnya sakaratul maut ini ya Allah..Limpahkan seluruh rasa sakit sakaratul maut padaku saja, tapi jangan pada umatku.."
Allahuakbar!! Itu kata-kata yang keluar dari mulut sang Rasul. Bukan meminta agar sakaratul mautnya dimudahkan, bukan itu...
"Rasulullah, katakan apa permintaanmu yang terakhir, maka akan aku kabulkan," ujar Jibril saat itu.
Tanpa berpikir lama, Rasul yang mulia berkata," Ummmati..ummati..ummati...(umatku, umatku, umatku)"
Kata inilah yang menjadi kata penutup dari sang rasul..
Allahumma solli ala sayyidina muhammad wa ala ali sayyidina muhammad..

Betapa besar rasa cinta Rasulullah pada kita, umatnya. Hingga di akhir nafasnya pun hanya kita umatnya yang beliau pikirkan..bukan hartanya, bukan anak istrinya,,bukan..
Lalu pertanyaannya, sudahkah kita membalas cinta sang Rasul? sudahkah kita mengingat beliau di setiap solat kita?
Wallahualam bi showab...

Semoga kita semua termasuk umat yang mendapat syafaat Rasulullah kelak di hari setiap orang meminta pertolongannya...
Ya Allah..izikan aku bertemu dengan Rasul-Mu, aku ingin melihat wajahnya, sebentar saja, sebentar..Ingin aku katakan, aku sungguh mencintaimu wahai rasulku..

Minggu, 13 Februari 2011

Bukan Salah Azkiya

^__^
Salah satu cerpen dari sekian kumpulan cerpenku yang berani aku kirimkan saat itu..
tak menyangka bisa menjadi cerpen pemenang di Barokah Expo, yang kuingat tahun 2008...

Matahari mundur perlahan ke peraduannya. Langit merona jingga. Burung-burung pun riang gembira mengiringi peristiwa senja kala itu.
Di dalam sebuah ruangan berwarna serba putih itu, seorang wanita tengah berjuang sungguh-sungguh, berjihad. Segenap kekuatan ia curahkan agar nyawa yang dikandungnya itu selamat. Ya, ibu ini sedang melahirkan anak pertama yang ditunggu-tunggunya. Kumandang azan maghrib bersahut-sahutan. Saat itulah, akhirnya sang ibu bernafas lega. Bayinya lahir dengan selamat. Alhamdulillah, ucapnya lirih. Bayinya kembar, laki-laki dan perempuan. Segala puji bagi Allah yang Maha Pemberi berbagai karunia.

“Sudah ya, Ki? Bude udah berkali-kali ceritain hal ini ke kamu. Tapi kamunya tetap aja sedih seperti itu,” bude mengusap-usap kepalaku yang berbalut jilbab biru. Aku gerakkan tanganku mengisyaratkan sebuah pertanyaan. Dengan isyarat, aku bertanya apakah ada lagi hal yang belum bude ceritakan. Untungnya, bude sudah mengerti setiap bahasa isyaratku. “Gak ada. Insyaallah gak ada yang bude lupakan sayang. Sudah, sekarang kamu tidur dulu. Besok kamu ulang tahun kan? Bude sama pakde mau ngajak kamu jalan-jalan,” ujar bude sambil membenahi selimutku. Setelah itu, ia pun beranjak kembali ke kamarnya.
Tidak terasa aku akan berusia 17 tahun. Kalau mendengar cerita bude, rasanya baru kemarin aku terlahir ke dunia ini. Aku paling suka meminta bude bercerita akan masa kecilku, tentang ibu dan ayahku, dan tentang saudara kembarku, Fariz. 15 tahun sudah aku hidup bersama bude dan pakde. Mengapa bisa begitu? Aku sendiri tidak mengerti. Apa karena aku cacat lalu orang tuaku meninggalkanku? Astagfirullah aladzim. Aku tidak boleh suudhzan.
Hari minggu yang kunanti tiba. Matahari mulai menampakkan dirinya kembali. Cerah. Aku sudah bangun dari jam tiga pagi. Shalat tahajud, bermuhasabah dan berdoa untuk usia yang semakin berkurang kini. Aku tidak sabar menunggu telepon dari ayah dan ibu. Walaupun mereka tinggal di London, mereka tak pernah lupa menelepon di hari ulang tahunku. Sebenarnya aku ingin berjumpa langsung dengan mereka. Mereka tak pernah menjengukku selama 15 tahun ini dengan alasan sibuk atau sakit Fariz kambuh.
***
Di negeri seberang sana, seorang ibu larut dalam kesedihannya. Ia teringat akan anak perempuannya bernama Azkiya yang ia tinggalkan selama 15 tahun. Dia ibuku. Ibu menangis, otaknya memutar memori saat ia memutuskan memilih Fariz daripada diriku. Ayah memaksa untuk menitipkanku ke bude dan lebih memilih mengasuh Fariz. Alasannya karena keluarga besar kami mempercayai mitos kalau anak kembar laki-laki dan perempuan tidak boleh hidup berdekatan, di sisi lain ayah juga malu karena aku terlahir cacat. Orang tuaku tahu kalau aku tidak bisa berbicara karena dalam usia 2 tahun, belum satu kata pun yang aku katakan.
“Yah, ibu kangen sekali sama Azkiya,” ibu menceritakan kegundahannya. Ayah menarik nafas panjang.
“Ayah juga Bu. Tapi apa Azkiya mau memaafkan kita dan mau kita ajak tinggal sama kita setelah kita mencampakkan dia 15 tahun ini? Ayah rasa dia tidak akan mau. Lagipula si Fariz masih butuh perhatian ekstra dari kita, Bu. Sakit gagal ginjal Fariz mengharuskan kita fokus sama dia,” papar ayah panjang lebar.
“Tapi kan si Fariz sudah besar. Dia bisa menjaga dirinya sendiri. Sedangkan Azkiya? Dia belum pernah sama sekali mendapat perhatian dari kita!” tangis ibu pecah.
“Sudahlah Bu. Azkiya tak pernah kekurangan kasih sayang. Pakde sama budenya sangat menyayanginya. Dia juga tumbuh jadi anak yang solehah sekarang”.
Tanpa sepengetahuan mereka, Fariz mendengar pembicaraan dari belakang. Ia merasa bersalah atas semua ini. Ia juga merasa kangen pada saudara kembarnya. Ia ingat untuk menelepon Azkiya, ini kan hari ulang tahun mereka.
Jauh di seberang aku sudah gelisah duduk di ruang tengah. Telepon belum juga berdering. Pakde dan bude hanya tersenyum melihat kegelisahanku. Namun, tak berapa lama kemudian, telepon pun berdering. Sontak wajahku gembira. Ya Allah, akhirnya mereka menelepon juga. Bude beringsut mengangkat gagang telepon, aku mendekat.
“Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam. Bude,ini Fariz”.
“Oh, nak Fariz. Apa kabarmu Nak?Orang tuamu gimana, sehat?”
“Alhamdulillah kami di sini semua sehat. Fariz mau bicara sama Azkiya, dia ada di situ bude?”
“Iya, ini Azkiya ada di dekat bude. Kamu ngomong saja, bude yang sampaikan ke Azkiya”. Aku pun berdiri dekat telepon. Sungguh aku bahagia sekali Fariz menelepon, saudara yang entah bagaimana rupanya sekarang. Rasa bahagia itu membuncah hingga aku terisak.
“Bude, tolong sampaikan ke Azkiya kalau Fariz kangen sekali sama dia. Selamat ulang tahun ya Ki. Sekarang kita udah gede, udah 17 tahun. Kakak yakin kamu sekarang udah jadi gadis yang cantik ”. Bude menterjemahkan apa yang dikatakan Fariz dengan gerakan mulut dan tangannya. Setelah aku paham, dadaku rasanya sesak hingga nafasku tersengal.
“Ki, kamu nangis ya?” rupanya Fariz menangkap tangisku. Aku menggerakkan tanganku. Bude mengerti maksudku.
“Azkiya juga kangen sama nak Fariz. Dia bilang dia ingin bertemu kalian semua,” bude menjelaskan pada Fariz. Setelah itu entah apa lagi yang bude bicarakan dengan Fariz. Aku sudah tidak konsen lagi mendengarkan karena masih sesegukan.
“Ki, ini ibumu yang mau bicara,” bude memanggilku. Ibu, aku sangat merindukannya. Rindu suaranya apalagi belaian sayangnya. Kakiku gemetar berdiri dekat bude.
“Azkiya...,ibu kangen nak,”suara ibu gemetar. Hatiku bagai runtuh saat itu. Entah karena aku tidak bisa menangkap suara ibu. Andai aku bisa mendengar lembut suaranya. Andai saat itu aku bisa bercerita tentang rinduku. Andai aku mampu mengatakan aku mencintainya dan menginginkannya kembali padaku. Tapi aku tak bisa apa-apa. Semua kata-kata itu tercekal di tenggorokan ini, tak bisa keluar. Bude dan pakde yang menyaksikan keadaanku ikut menangis haru.
“Nak, maafkan ibu. Jangan benci ibu nak. Ibu sampai saat ini tak pernah melupakan kamu. Ibu sayang sama Azkiya dari dulu sampai saat ini. Ibu janji akan segera menemui kamu nak. Kamu sekarang pasti cantik sekali. Kata bude sejak kamu berjilbab, kamu tambah cantik. Selamat ulang tahun anakku, doa ibu bersamamu,”ibu masih terisak. Bude dengan pelan menterjemahkan kata-kata ibu. Aku tulis kalimat di kertas, lalu bude membacakannya.
“Mbak, Azkiya sangat rindu padamu. Cepatlah kau pulang. Dia ingin melihat wajahmu, ayahnya, kakaknya”.
Lalu ayah yang menjawab.”Iya, bude sampaikan ke Azkiya, kami usahakan tahun ini kami akan pulang. Sudah ya Ki, kami mau ngantar Fariz ke dokter. Asalamualaikum”.
“Walaikumsalam,” bude menutup telepon. Bude bilang terakhir ayah yang bicara. Ayah, mengapa dia tidak berbicara padaku untuk sekedar mengatakan kangen atau selamat ulang tahun. Apa ayah belum bisa menerima keadaanku? Ya Allah, aku sangat menyayangi ayah, kuharap dia pun begitu.
Hari ini aku begitu semangat sekolah. Ulanganku hasilnya memuaskan. Memang benar janji Allah, siapa yang bersungguh-sungguh maka dia yang akan berhasil. Aku selalu menyempatkan belajar setelah shalat tahajud karena saat itu otak masih fresh. Aku memang selalu semangat sekolah. Ada teman-teman yang selalu menyayangiku. Walaupun tak sedikit pula yang mencemooh kalau aku ini seorang tunawicara. Sakit memang, tapi untuk apa aku selalu bersedih.
Setiba aku di rumah, bude menyambutku dengan wajah cemas. Ada apa ya? Aku mendekati bude, mengangkat tanganku menanyakan ada apa. Bude terlihat berat untuk menjawabnya.
“Nak, saudaramu Fariz masuk rumah sakit. Ginjalnya semakin mamburuk. Orang tuamu tadi menelepon, mereka sedang panik karena kondisi Fariz kritis”.
Astaghfirullahaladzim. Cobaan apa lagi ini ya Allah? Kasihan orang tuaku.
“Ki, keluargamu akan pulang ke Jakarta besok. Fariz yang meminta untuk pulang,” pakde memberitahuku. Apa? Aku tidak salah dengar? Mereka akan pulang dan itu artinya aku akan bertemu mereka. Tapi mengapa harus dengan keadaan Fariz sedang sakit? Ya Rabb, begitu banyak rencana-Mu yang begitu tiba-tiba ini.
Malam ini aku tidak bisa tidur. Aku disibukkan oleh perasaan yang bercampur aduk ini. Oh ayah, ibu, aku akan bertemu mereka, ingin mencium tangannya dan memeluknya. Hingga akhirnya aku pun terlelap dalam mimpiku.
***
Pagi ini aku bersama bude dan pakde ke RS Islam Jakarta karena Fariz langsung dibawa ke sana. Selama di perjalanan, aku hanya duduk diam. Tubuhku rasanya hangat dingin. Aku hampir tidak percaya kalau waktu yang aku tunggu-tunggu itu datang juga. Bude merasakan kecemasanku, dia menggengggam tanganku erat.
Aku dan bude berlari kecil menuju ruangan dimana Fariz dirawat. Aku masih sibuk menata hatiku. Ya Allah, mengapa bertemu dengan orang tua saja aku seperti ketakutan sekali. Tenangkan hatiku ya Rabb. Aku memandang lurus ke depan. Aku pun melihat sosok seorang wanita dan lelaki di sana. Setelah semakin dekat, aku tahu itu mereka! Ayah dan ibu.
Ibu berdiri melihat kedatanganku. Matanya sayu dan berkaca-kaca. Ia langsung mendekapku. Hangat sekali. Rasanya aku tidak mau pelukan ini lepas. Damai merasuk ke dalam hatiku. Kami pun mengungkapkan rasa haru lewat tangis yang pecah.
“Azkiya, kamu sudah besar nak. Ibu rindu padamu, rindu sekali nak,” ibu mencium kepalaku. Ya Allah, baru kali ini aku merasakannya. Bahagia sekali. Aku pun mencium tangannya lama, lalu tangan ayah. Kucium dengan khidmat. Kurasakan energi kasih sayang dari mereka yang tak pernah kurasakan selama ini.
Tak lama kemudian, dokter mengatakan kalau Fariz butuh donor ginjal untuk bertahan hidup. Ayah terlihat semakin cemas. Aku ambil selembar kertas dari agenda kecilku. Kutulis: ayah, jangan bersedih. Allah tidak akan memberi cobaan di luar kemampuan umat-Nya. Kita harus sabar dan ikhlas yah. Kuberikan itu pada ayah. Tiba-tiba raut muka ayah berubah.
“Kau pikir dengan sabar si Fariz bisa selamat? Fariz itu anakku yang paling aku harapkan. Cuma dia yang bisa meneruskan usaha bisnisku. Selama ini aku bersabar tapi tak ada perubahan pada Fariz!” suara ayah meninggi. Aku terkejut dengan sikap ayah. Tapi kucoba tersenyum, kutulis lagi: Azkiya selalu siap membantu ayah semampu Azkiya.
“Kamu? Kamu bisa apa? Bicara saja tidak bisa, mau bantu apa. Cuma bisa nyusahin!” ujar ayah ketus. Deg, hatiku bagai dihujam palu. Sakit sekali. Ibu terdiam tak berani berbicara, dia hanya menangis. Ternyata ayah begitu tak menginginkanku. Aku langsung berlari jauh mencari tempat menyendiri.
Aku merenung. Aku merasa tidak berarti lagi. Pertemuan yang menyakitkan. Ternyata kenyataan lebih menyakitkan bagiku. Aku ingin berteriak, tapi tak bisa. Aku benci pada diriku sendiri, mengapa aku tak bisa bicara? Mengapa ayah membenciku? Aku tak pernah meminta terlahir seperti ini.
***
Wajah ayah beberapa hari ini terlihat bahagia. Sudah seminggu Fariz dioperasi pencangkokan ginjal. Operasinya sukses. Pertama kali sadar, Fariz ingin bertemu denganku. Aku merasa bahagia sekali melihatnya sudah sadar. Setelah bertemu, kami mencurahkan rasa bahagia itu. Aku memeluk tubuhnya yang terbaring lemah. Fariz tak malu menangis sesegukan. Aku berisyarat kalau aku mencintainya. Fariz dengan mudah menangkapnya. “Aku juga mencintaimu, adikku,” ungkapnya. Ibu, bude, pakde menangis melihat kami. Ayah hanya melihat tanpa ekspresi haru.
“Ayah, jangan benci Azkiya lagi. Dia tidak salah. Fariz masih bisa hidup ini karena ginjal dari Azkiya. Dia yang mendonorkan satu ginjalnya untuk saudaranya ini,” Fariz menjelaskan. Aku hanya menggelengkan kepala agar Fariz jangan meneruskan kata-katanya. Ekspresi wajah ayah berubah seketika. Ia bagai tak percaya. Ibu mengangguk meyakinkannya.
“Ayah, Azkiya tidak berdosa. Apakah terlahir tak sempurna itu dosa? Mengapa kita menghukumnya seperti ini Yah? Cukup! Cukup sudah kita menghukumnya. Apa ayah tidak mencintai putri kandung ayah sendiri?” ibu terlihat emosi.
Tubuh ayah gemetar. Air matanya menetes perlahan. Aku pun tak kalah menangis deras. Kata-kata ibu cukup mewakili pertanyaanku. Ayah mendekatiku perlahan. Ia pun memelukku erat lalu mencium kepalaku. Hal yang belum pernah aku rasakan dari seorang ayah. Kubalas dengan meraih punggung tangannya, kucium dengan penuh khidmat. Suasana haru biru membekukan ruangan itu.
“Maafkan ayah nak. Ayah telah berdosa mencampakkanmu. Entah bagaimana ayah menebus kesalahan ayah,” ayah terus mencium kepalaku. Bahagia memenuhi segenap hatiku. Subhanallah….
Ibu ikut memelukku. Kami hanyut dalam perasaan yang selama 15 tahun ini tak terungkapkan. Bibirku bergetar, ingin sekali aku berucap, satu kata saja. Pelukan ibu kulepas perlahan, kutatap matanya. Ya Allah, kumohon, izinkan aku berbicara satu kata saja. Aku tidak meminta banyak, hanya satu kata yang selalu ingin kukatakan. Segenap tenaga aku kumpulkan. Aku tarik nafas dalam-dalam.
“I...bu..,” tiba-tiba kata itu terucap dari bibirku. Ibu dan semuanya terkejut dengan apa yang kukatakan. Aku pun hampir tak percaya. Air mataku tak terbendung lagi. Itu kata pertama yang kuucapkan. Walau tak begitu lancar, aku bahagia karena bisa mengucapkannya karena mungkin hanya saat saja itu dapat kuucapkan.
Ayah, walau lama tak bersama
Rasa bangga dan cinta untukmu tetap kujaga
Aku menyayangimu lebih dari nyawaku
Jangan kau tanya berapa lama aku sanggup menunggu ridhomu
Hingga akhir hayat tetap kutunggu
Ibu, walau tak selalu bisa kusebut namamu
Namamu tumbuh mewangi di hati
Kau bagai telaga di tengah kekeringanku
Jangan sampai air mata jatuh di sudut matamu ibu
Karena dukamu menyiksaku, bahagiamu itu citaku


By: RESTI
FKIP Biologi O7
06071009036
11 April 08

Semua Karena Cinta

Mataku masih terpejam. Air dari sudut mataku masih terus mengalir. Hangatnya merambat di pipiku. Peristiwa demi peristiwa, kenangan demi kenangan terputar tak karuan di memoriku. Goncangan mobil travel dan dinginnya AC mobil seolah tak mengusikku untuk memejamkan mata.

Tadi subuh….
Jam 3 dini hari aku terjaga, bangkit dari kasur empukku. Air wudhu dingin merasuk sampai ke tulangku, mensucikan kotoran yang melekat. Subhanallah..
Kuambil 4 rakaat shalat tahajud. Betapa nikmatnya shalat di malam hari. Begitu sejuk begitu khusyuk.
Pukul 03.35 aku kembali merebahkan tubuh di kasurku. Beberapa menit kemudian aku terlelap. Belum sepenuhnya aku terbang ke alam mimpi, handphoneku berdering. Ibuku? Kulihat pukul 04.00. Buru-buru kuangkat handphone itu.
“Halo assalamualaikum. Ada apa Bu?” aku sedikit terkejut mengapa ibu menelepon sepagi ini. Biasanya ba’da subuh baru menelepon.
Yang kudengar adalah isakan tangis dari seberang sana. Ibuku menangis. Bertambah kecemasanku.
“Bu, ada apa?”
“Ti..Nek anang meninggal..” sayup suara ibu. Hanya kata terakhir yang kudengar.
“Meninggal? Siapa Bu yang meninggal?”
“Nek anang…” suara ibu nyaris tak terdengar, yang terdengar jelas adalah isak tangisnya.
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un…” relung hatiku yang paling dalam bagai dihentak keras hingga sakitnya menguras dalam air mataku.

Ya, air mata itu tak henti-henti mengalir, tak dapat kubendung sampai perjalanan pulang ini..
“Ayuk merasakan ini mimpi dek,” aku membuka percakapan dengan adikku. Sedari awal perjalanan kami hanya diam, dengan lamunan masing-masing.
“Iya yuk. Apalagi aku, sudah dua bulan tidak bertemu dengan nek anang. Padahal tiap hari selama 12 tahun ini selalu melihatnya. Mengapa nek anang tidak menungguku? Aku sangat rindu padanya,” ujar caca, adikku yang memang selama dua bulan ini tinggal di Palembang karena harus bimbel dan ikut tes snmptn.
“Ayuk juga tidak menyangka. Padahal baru dua hari kemarin ayuk pulang ke Lahat. Nek anang masih tampak sehat-sehat saja. Masih sempat bercanda dan tertawa. Tapi…Ya Allah..” aku tidak sanggup berkata-kata lagi.

Nek anang….
Sosok yang berarti bagi hidupku sampai saat ini. Nek anang adalah kakek yang sangat baik, penuh kasih sayang terhadap anak cucunya, terutama aku dan adikku, Caca. Dari TK hingga tamat SMA kami tinggal bersama nek anang dan nenek. Mereka merawat dan mendidik kami dengan kasih sayang.
Nek anang sosok yang tegas, disiplin, cerdas, namun punya selera humor yang baik dan sangat penyayang. Di balik sifatnya yang keras ada cinta dan ketulusan yang luar biasa.
Nek anang sangat telaten merawat cucunya. Yang paling kuingat, setiap pagi, nek anang menyiapkan air hangat untuk kami mandi. Membuatkan segelas susu manis semanis cintanya untuk kami. Menyemirkan sepatu kami agar terlihat selalu rapi. Tak jarang pula nek anang menyuapkan kami sarapan. Semua ia lakukan karena cintanya yang tulus.
Beranjak sore, nek anang sudah menghadirkan segelas susu hangat lagi. Lalu dengan peci dan sarungnya ia siap mengajar kami membaca Al-Quran. Subhanallah. Semua ia lakukan karena cinta.
Seusai belajar membaca Al Quran, nek anang memeriksa PR kami. Membantu kami menyelesaikannya. Terkadang aku agak cemas karena jalan mengerjakan jawaban nek anang agak berbeda dengan contoh di buku. Tapi ternyata jalan nek anang tidaklah salah, malah ibu guru di sekolah membenarkan jalanku dalam mengerjakan PR. Tak jarang aku jadi menemukan trik baru yang lebih mudah dalam mengerjakan soal matematika. Semua berkat nek anangku^^
Biasanya setelah mengerjakan PR, nek anang mengajak kami keluar, berdiri di depan pagar rumah, menunggu jajanan yang lewat. Aku paling suka makan roti donat. Nek anang pun membelinya untukku. Semua ia lakukan karena cinta.
Hari pun beranjak malam.
Aku, adikku, nenek dan nek anang menonton tv bersama. Biasanya aku tidak kuat menonton sampai malam, maksimal pukul 20.00. Alhasil aku tertidur di depan tv. Besok pagi aku terbangun dan baru sadar kalau aku sudah berada di atas ranjang empuk. Ternyata nek anang tak pernah membangunkanku untuk tidur di kamar. Tapi ia menggendongku dengan hati-hati, jangan sampai aku terbangun, menggendongku hingga ke tempat tidur. Semua ia lakukan karena cinta.

Ketika aku kelas 4 dan Caca kelas 1 SD. Nek anang menjanjikan akan memberikan sebuah hadiah jika kami mendapat peringkat 1. Itu bukanlah suatu tantangan yang mudah bagi kami karena paling banter biasanya aku masuk 5 besar bukan 3 besar apalagi juara 1. Tapi hadiah yang dijanjikan begitu menarik bagiku saat itu, sebuah jam tangan cantik. Aku dan adikku pun begitu bersemangat belajar dan punya ambisi besar mendapat juara 1! Alhasil ketika hari pembagian raport, nenek dan nek anang begitu terkejut dan bahagia bukan kepalang karena aku dan adikku berhasil mendapat juara 1! Setelah hari itu, aku dan adikku selalu mendapat juara di kelas. Hal yang membanggakan. Semua berkat nek anang tercinta dan semua ia lakukan karena cinta…

Saat aku SMP, aku pernah cidera sepulang dari mengikuti pawai drumband, aku terjatuh dari motor. Pulang ke rumah dengan penuh luka dan menangis. Nek anang telah menunggu di depan pintu, masih kuingat wajahnya yang begitu cemas. Nenek mengomel sana sini mengatakan kenapa tidak hati-hati, tetapi nek anang tidak banyak bicara, beliau dengan sigap membersihkan luka-lukaku dan membalutnya dengan perban. Setiap hari ia selalu ingat membersihkan lukaku dan mengganti perbannya, sampai lukaku benar-benar sembuh. Subhanallah..nek anang, semua ia lakukan karena cinta…

Hari itu semua cerita bermula. Bagai sebuah pil pahit yang harus ditelan. Saat itu aku masih kelas 2 SMP, sekitar 8 tahun yang lalu. Nek anang jatuh pingsan saat hendak keluar mengambil air wudhu untuk solat malam. Nek anang terkena stroke. Hampir seminggu nek anang masuk rumah sakit. Aku begitu sedih melihat keadaan orang yang sangat kusayang terbaring lemah di ranjang pesakitan dengan selang infus dan selang apalah yang tak kutahu namanya yang dimasukkan ke dalam hidungnya. Pasti itu menyakitkan. Nek anang tak mau berlama-lama di rumah sakit dan meminta pulang. Namun keadaan telah berubah. Nek anang kembali sebagai nek anang yang berbeda, nek anang tak dapat lagi berbicara, tak dapat lagi berjalan. Setelah itu, aku tak pernah mendengar candanya, nasihatnya, atau marahnya.
Bertahun-tahun nek anang hanya berbaring di ranjang istimewanya atau duduk di kursi rodanya. Ingin sekali rasanya sewaktu waktu mendengar nek anang memanggil namaku, tapi itu hanya harapan yang tak mungkin terwujud. Begitu sedih dan menyakitkan bagiku, tapi apa yang aku rasakan pasti belum seberapa sakit dan pedih dengan yang nek anang rasakan. Pasti sangat membosankan bertahun-tahun hanya duduk di kursi roda, tanpa bicara, tanpa pergi kemana ia suka.
Namun ada yang tidak berubah. Kasih sayang dan perhatiannya. Walaupun dalam keadaan sakit, nek anang tetap memperhatikan apakah kami sudah makan atau sudah mandi atau bahkan mengingatkan jika waktu solat sudah tiba. Subhanallah..tidak berubah, semua itu ia lakukan karena cinta…

Tiba waktunya aku pergi meninggalkan rumah, meninggalkan nenek dan nek anang karena kuliah di Inderalaya. Sesekali aku pulang ke Lahat. Kondisi nek anang tetap sama, hanya seringkali kulihat ia kesulitan bernapas, sesak. Kata dokter, jantung nek anang tidak nomal lagi, hanya sebagian yang berfungsi dengan baik. Dokter memvonis kalau hidup nek anang hanya bergantung dengan kekuatannya. Sungguh menyakitkan.
Bagaikan sebuah keajaiban. Setahun berlalu, nek anang tetap bertahan dengan kondisinya. Seperti biasa, makan, minum, nonton tv bersama, sesekali bercanda, semua berjalan seperti sedia kala. Nek anang seperti orang sehat saja, wajahnya ceria, hanya tak bisa berbicara dan berjalan, itu saja.

Sabtu itu aku memutuskan untuk pulang ke Lahat. Walaupun hanya libur 2 hari, aku betul-betul ingin pulang. Selain kangen dengan ibu, entah kenapa aku berkeinginan kuat untuk pulang. Tiba di rumah selepas magrib, disambut ibu tercinta. Yang paling ingin kulihat berikutnya adalah wajah sang kakek, nek anangku. Seperti biasa, ia tengah duduk di atas ranjangnya, tersenyum melihat kehadiran cucunya.
Dua hari bersamanya, dua hari yang ternyata merupakan hari-hari terakhir bersamanya. Aku kembali ke Inderalaya, pamit dan mencium tangannya. Andai aku tahu itu kali yang terakhir, entah akan kulepas atau tidak tangannya.
…………………..
Kakiku gemetar ketika tiba di rumah.
Rumah telah ramai dengan bapak-bapak yang memakai peci dan ibu-ibu yang berkerudung. Begitu menakutkan membayangkannya. Dengan menghalau segala ragu, sekuat tenaga aku berjalan. Tak peduli siapa yang ada saat itu, aku hanya mencari nek anang. Ada.
Kulihat sesosok yang terbaring kaku, dengan muka yang ditutup kain putih. Nenek duduk di samping sosok itu. Gemetar tanganku membuka kain penutup itu.
Ya Rabb, kudapati wajah nek anangku. Wajahnya pucat namun tersenyum. Seperti bahagia sekali. Air mataku pun mengalir deras menandai hancur dan perihnya hati. Kuusap pipinya, dingin. Ya Allah, nek anangku kedinginan?
Aku puaskan memandangi wajahnya inci demi inci. Terputar semua kenangan, kala aku tertawa bersamanya, kala aku membantahnya, dan segala pengorbanannya. Semakin deras air mataku.
Kuambil air wudhu lalu kembali duduk di samping jenazah nek anang. Ya, jenazah. Kini nek anangku jadi jenazah. Kubaca surat yasin dekat telinganya. Semoga ia mendengar. Sebagai wujud cinta dan terima kasihku untuknya.
Hujan gerimis mengantar kepergian nek anang. Jenazah nek anang dimasukkan ke dalam lubang, ya lubang kubur. Tempat peristirahatan terakhir nek anangku. Gerimis hatiku, bagaimana mungkin nek anang akan tinggal sendirian di dalam sana. Bukan ranjang empuk dan hangat. Ah, bukankah kita semua akan seperti itu?
Ya Allah…semoga nek anang mendapat tempat yang sebaik-baiknya disana. Jauhkan ia dari segala siksa kuburMu, terima semua amal ibadahnya. Jaga ia disana ketika penjagaan kami tak sampai padanya. Masukkanlah ia ke dalam surgaMu dan pertemukan kelak kami di jannahMu. Amin ya Robbal Alamin.
*2 bulan 11 hari kepergiannya…Tak ada lagi yang tersenyum menyambut kepulanganku atau menghantar pergiku dengan cintanya. Tak ada lagi yang duduk di kursi roda, teman setianya. Atau tak ada lagi yang menangis di atas kursi roda saat maaf-maafan di hari raya. Dan aku akan merindukannya..
Nek anang….walau kini ragamu tak lagi bersama kami dan senyummu hanya ada dalam ingatan kami. Tapi kau tetap hidup di hati kami, selamanya…..
Terima kasih atas segala yang kau berikan karena cinta...

(Sebuah kado lebaran untuk alm.nek anang)
Resty

Kerinduan

Masih kuingat dan masih terasa, hari ketika hujan deras membasahi bumi-Mu dan dinginnya angin memeluk malam itu hingga tanah mencair dalam beku. Butirannya membasahi tubuh dan mendinginkan kelu, ia bukan hanya menggetarkan tapi juga membuat siapa pun yang beradu dengannya akan merasa kalah karena tak berdaya. Di malam itu aku belajar, bahwa BELUMLAH APA-APA yang sudah kulakukan. BELUMLAH SEBERAPA, langkah yang terlanjur kutapaki. Di masa itu, aku BELAJAR, banyak sekali BELAJAR. Tentang yang namanya prinsip, tentang IKHLAS, tentang HARAPAN, juga tentang DO’A-DO’A panjang yang sering lalai untuk kuucapkan. Di masa itu kutanamkan dalam jiwa, bahwa masih banyak yang harus terselesaikan, masih banyak cerita yang belum sempat kusempurnakan dan kuakhiri dengan indah. Di masa itu, Engkau bukan hanya memberiku satu momen yang paling berharga, namun juga memberiku cahaya kelapangan untuk berpikir secara jernih.
“… Dan sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, Allah mengujinya. Maka barangsiapa Ridha dengan ujian Allah, baginya Ridha dari Allah..” Sungguh, bukan hanya sekedar pesan cinta, namun juga ujian bagi mereka yang benar-benar ridha(rela) dengan ketentuan-Mu, atau juga ia bisa menjadi azab sebagai penggugur dosa-dosamu. Subhanallah, begitu cara Allah mengingatkan kita. Kadang kita merasa kalah karena tak mampu melangkah, tapi, Allah lebih sering memberi kita seberkas harap untuk tak kenal lelah berusaha. Cinta dan karunia-Nya tak terhingga, tak mampu kau hitung dengn logika.

Aku kembali bergetar ya Rabb.. Setelah semalam kurangkai dalam-dalam kisah perjalanan panjang para pencinta-Mu, perasaan sedihku yang membuncah atas kerja-kerjaku yang tak seberapa terluapkan dalam butiran air mata, kupeluk erat-erat semua keresahan yang tiba-tiba hadir menggetarkan tubuh karena langkah-langkahku yang tak seindah semestinya. Semuanya benar-benar membangunkanku dari buaian dan kekotoran hati akan amal-amal yang belumlah seberapa. Merindui Rasul-Mu, malu karena belum aku selembut Abu Bakar, menangis karena belum aku setegas Umar bin Khathab, apalagi seistiqomah Aisiyah dan Sumayyah yang tetap teguh dengan tauhidnya hingga ajal di depan mata… Mungkinkah aku, yang tak punya kontribusi dan kerja-kerja nyata ini bertemu dengan mereka ? Merasakan manisnya duduk bersama majelis Rasulullah..Allahu.. jikalau syurga dan derajat syuhada itu begitu jauh denganku, maka berikan aku KESEMPATAN dan WAKTU untuk BELAJAR. Belajar untuk terus memperbaiki diri. Belajar untuk meletakkan dunia di tanganku bukan di hatiku.

Untuk mereka ya Rabb, yang rela memberikan harta dan jiwanya untuk-Mu,.. Kutitip berjuta rindu tak terkira.. Kukirim salam cinta terindah.. Kalaupun mungkin ku tak layak bersama mereka, izinkanlah aku untuk terus mencintai mereka, meneladani mereka, hingga menjadikan jiwa-jiwa ini penuh dengan kobaran semangat mereka.